Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Fikar W.Eda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Teguh Esha, "Panglima Sastrawan Jalanan" menggelar pertunjukan pentas lagu dan puisi "Empati Kepada Lapindo Brantas" di Auditorium Gelanggang Olah Raga (GOR) Bulungan, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2013) malam.
Penulis novel "Ali Topan Anak Jalanan," tampil sangat bersahaja, berceloteh, membaca puisi dan juga menyanyi diiringi dua pemetik gitar jalanan dan penggesek biola, Eko Partitur.
"Pentas ini adalah ungkapan dan pernyataan empatiku kepada Lapindo Brantas, Inc, satu dari hanya beberapa biji perusahaan Melayu yang sedang dilanda musibah atau terpaan moral, mental psiklogis, keuangan dan material yang dahsyat," kata Teguh Esha, dalam pengantar pertunjukan.
Tapi Teguh membantah bahwa pertunjukannya disponsori perusahaan milik keluarga Bakrie.
"Saya sama sekali tidak kenal mereka dan pentas ini tidak ada kaitan dengan mereka. Ini adalah pertunjukan ungkapan hati nurani melalui lagu dan puisi," celoteh Teguh Esha, yang pernah dipenjara pada masa Orde Baru.
Ia menyadari kontroversi pertunjukan itu. Beberapa pihak mencoba menghubungi Teguh dan meminta membatalkan pentas tersebut dan menggantinya dengan pertunjukan lain, hanya karena dibubuhi embel-embel Lapindo Brantas, perusahaan yang dikait-kaitkan dengan lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Di buku pengantar acara, Teguh Esha memang melengkapi keterangannya dengan membeberkan fakta-fakta hukum tentang ketidak-bersalahan Lapindo Brantas terhadap luapan lumpur Sidoarjo.
"Ku baca berita yang berfakta
Lumpur yang menyembur itu bencana
Tapi banyak orang menyalahkan mu
Dan kau disuruh membayar mereka
Lho, kok mau?"
Demikian antara lain petikan puisi "Blues untuk Lapindo."
Selain menyinggung Lapindo, Teguh Esha juga menulis untuk Sondang Hutagalung, aktivis yang membakar dirinya di depan Istana Negara.
Teguh Esha berbicara dengan bahasa lugas dan khas jalanan. Ia merasa perih atas keringnya cinta di negeri ini. Tapi pada bagian lain, Teguh Esha menuding dan marah kepada para perampok dan penjual negara.