TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Hanya tiga dari 60 naskah kuno di Keraton Kaprabon, Jalan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Raja Kaprabon, Pangeran Hempy, ada dua alasan kenapa naskah yang diterjemahkan itu baru sedikit.
"Pertama, karena ahli alih bahasa cacatan yang menggunakan huruf arab gundul jumlahnya sedikit. Kedua, masalah keuangan," ujar Hempy seusai diskusi Pelestarian dan Pemanfaatan Naskah Cirebon sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan di Keprabon, Sabtu (20/4/2013).
Enam tahun lalu saja, kata Hempy, pihaknya membayar sekitar Rp 40.000 untukĀ setiap lembaran terjemahan. "Sekarang, mungkin sekitar Rp 60.000 per lembar," katanya.
Selain mendapat bantuan dari pemerintah Kota Cirebon, Hempy mengaku merogoh kocek sendiri untuk membantu pembayaran terjemahan itu. Sejauh ini, naskah-naskah kuno itu, masih tersimpan di lemari besi dan lemari kayu di Keraton Keprabon. "Kondisi (naskah) rapuh tapi masih bisa dibaca," ujar Hempy.
Naskah-naskah kuno itu berisi tentang ajaran agama, filsafat, dan makna pelengkapan rumah tangga seperti keris dan batik. Budayawan sekaligus kandidat doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung, Rafan Safari Hasyim, mengatakan naskah-naskah kuno juga mengandung catatan mengenai arsitektur dan mode-model.
"Naskah mengenai rumah juga termasuk soal kehidupan tangga (mikro kosmos) dan hubungan dengan lingkungan alam (makro kosmos)," ujar Rafan seusai acara yang sama. Namun, ia mengakui tak banyak teks kuno itu yang beralih bahasa. Menurutnya, tak banyak ahli naskah yang menetap di Cirebon, hanya ada empat.
Kebanyakan ahli naskah, ucapnya, tinggal di Jakarta. Di Cirebon, selain Rafan, lulusan naskah Makrus, Nur Hatta, dan Eli. Dia mengaku upaya terjemahan mengandalkan dana pribadi. "Tidak ada perhatian pemerintah," Rafan yang juga seorang pelukis kaca itu. Beberapa naskah, ucapnya, sedang dalam proses alih bahasa.(tom)