TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Langit masih gelap di angkasa Pelabuhan Celukan Bawang, Bali, saat perahu Jukung yang dikemudikan Effendy Soleman meninggalkan pantai. Saat itu waktu menunjukkan pukul 05.00 WITA, perahu diarahkan ke Barat Laut, dengan harapan sekitar tengah hari, waktu makan siang tiba, pelayaran sudah mencapai kawasan Situbondo, Jawa Timur.
Ke arah Barat Daya dari pelabuhan Celukan Bawang, yang terlihat hanyalah hamparan laut di kegelapan. Tidak sedikit pun terlihat adanya gunung atau tanda-tanda lain yang menunjukan arah tersebut menuju ke pulau Jawa.
Fendy memilih memulai pelayarannya pada dini hari karena lautnya relatif tenang. Fendy berharap setidaknya selama melewati selat yang memisahkan Pulau Bali dan Jawa, Jukung sepanjang 7,5 meter yang ia nakhodai tidak bertemu ombak besar.
Untuk mengejar waktu ia lagi-lagi memanfaatkan mesin motor tempel bertenaga 15 kuda. Ia berpikir jika memanfaatkan layar tungal Jukung, belum tentu pada tengah hari ia akan tiba di pulau Jawa. Padahal lewat tengah hari ombak di perairan itu mulai tidak ramah.
Sepanjang pelayaran dari Singaraja, Bali menuju Jakarta, salah satu titik yang ia khawatirkan adalah selat tersebut. Di selat itu perairannya cukup dalam, dan berpotensi menimbulkan ombak besar. Di selat itu juga titik pelayarannya yang terjauh dari daratan, sehingga bila ada masalah ia akan kesulitan mencari bantuan. Dengan bantuan angin dari Timur ke Barat, ia berharap mampu mengendap-ngendap melewati selat itu sebelum ombak besar mengadangnya.
Suasana di perahu saat perahu meninggalkan pantai saat itu agak tegang. Fendy tidak banya bicara, wajah seriusnya pun dipasang. Fendy makin tegang ketika beberapa kali mesin motor tempelnya mati saat dipacu maksimal, padahal mesin itu baru empat hari sebelumnya dibeli dari toko di Denpasar, Bali.
Perlahan matahari dari arah Timur mulai muncul, mesin motor pun sudah bisa berpacu maksimal. Ketegangan di atas perahu sudah mulai menurun, Fendy mulai banyak bicara.
Setelah langit terang, samar-samar dari kejauhan tampak puncak Pegunungan Ijen di antara awan putih. Gunung yang berdiri di kabupaten Situbondo itu tampak tepat di arah yang sama perahu menuju. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa arah yang dipilih Fendy sudah benar.
Setelah dua jam menyusuri selat itu, ombak setinggi satu meter mulai muncul. Hal tersebut pun membuat laju perahu berkurang, karena perahu harus bermanuver untuk mengambil sisi teraman ombak. Di selat itu ombak menghantam dari dua sisi, yakni dari arah Timur yang menghantam perahu, serta dari arah utara yang menghantam sisi perahu. Siapa pun yang berada di atas perahu itu pasti basah disiram ombak.
Setelah empat jam berlayar, perahu itu kembali menunjukkan keanehannya. Sisi belakang perahu tampak lebih tenggelam, bahkan permukaan air hampir menyentuh tempat duduk Fendy. "Palka belakang tenggelam," kata Fendy dengan nada agak berteriak.
Palka tersebut terletak tepat di depan tempat duduknya. Palka itu diisi dengan air beberapa dus air mineral kemasan, kompor gas, serta lem perahu. Semuanya basah karena palka sedalam satu meter itu, setengahnya sudah tergenangi air laut.
Di laut dengan ombak seperti itu, agak kurang bijak jika masalah itu langsung dibenahi. Ia memutuskan untuk terus memacu perahu menuju perairan tenang terdekat ke arah Pegunungan Ijen, berharap perahu belum tenggelam saat mencapai titik tersebut. Setelah sekitar tiga puluh menit perahu melaju dengan palka belakang yang terendam setengahnya, terlihat dari kejauhan sejumlah perahu menepi. Kata Fendy di tempat perahu itu lah letak laut tenang terdekat.
Satu jam setelah perahu disadari bocor, akhirnya pelayaran mencapai titik laut tenang. Laut tersebut lumayan dangkal, sehingga karang di dasar laut agak jelas terlihat. Jangkar pun di lempar ke laut, dan permasalahan palka belakang mulai dibenahi. Setelah seluruh barang dipindah baru diketahui, ada lubang kecil di sisi dinding palka yang bersebelahan dengan bagian belakang perahu.
Salah seorang nelayan yang mengaku bernama Miswani kemudian menghampiri Jukung tersebut. Miswani yang kebetulan tengan memancing ikan di daerah itu menghampiri dengan menggunakan ban dalam truk berukuran besar. Ia kemudian menawarkan Fendy untuk singgah ke kampungnya, yakni desa Sirondo yang terletak di balik rimbunan hutan Bakau, tak jauh dari tempat Jukung itu melempar jangkar.
Dengan permasalahan kebocoran palka itu, akhirnya Fendy memutuskan untuk menginap di desa tersebut. Apalagi Miswani mengatakan di desa itu juga terdapat listrik dan sinyal telepon selular.
Desa tersebut bernama Sirondo, terletak sekitar 35 mil laut, atau sekitar 63 kilometer dari Pelabuhan Celukan Bawang. Di desa itu terdapat sekitar 9 keluarga, dan semuanya merupakan perantau dari Sepudi, Madura.
Rumah-rumah di desa itu terbuat dari bilik bambu, dengan alasnya dari tanah. Atapnya dipasangi seng, sehingga pada siang hari di dalam rumah itu terasa lumayan panas.
Di desa itu beberapa warganya sudah memiliki sepedamotor. Untuk mencapai jalan aspal terdekat, setidaknya membutuhkan waktu dua jam perjalanan. Warga yang di desa itu pun memilih perahu sebagai moda transportasi ideal.
Kawasan itu terletak di sisi timur Taman Nasional Baluran. Tak ayal lagi di belakang desa tampak hutan belantara membentang, dengan sejumlah hewannya yang suka tersesat ke desa, seperti jenis monyet, menjangan hingga macan tutul.
Fendy memutuskan untuk mengkandaskan Jukung tersebut ke pantai yang terletak tepat di depan rumah Miswani. Ia memutuskan untuk menginap di rumah itu, dan memulai perjalanan pada keesokan harinya untuk menuju Probolinggo.