TRIBUNNEWS.COM, MEDAN -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyematkan predikat terindikasi paling korup pada Pemko Tebingtinggi dalam pengelolaan belanja modal pada APBD 2012.
Fitra merilis indikasi penyimpangan belanja modal yang dilakukan Pemko Tebingtinggi sebesar Rp 4,9 miliar, seperti tertera dalam Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) II/2012 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi menyebut Pemko Tebingtinggi mengalahkan empat pemko lain dalam soal penyimpangan belanja barang modal yakni Kota Ambon, Denpasar, Kota Bukit Tinggi, dan Kota Prabumulih.
Uchok menuturkan penyimpangan belanja modal tersebut beradal enam temuan BPK yang dijalankan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
"Modus utamanya adalah mengurangi volume bahan proyek atau mark-up anggaran," katanya melalui sambungan telepon, Minggu (23/6/2013).
Temuan pertama adalah, ketidaksesuaian antara hasil pekerjaan dengan spesifikasi dalam kontrak pada paket pekerjaan pemeliharaan berkala Jl Sudirman (Simpang Ramayana sampai dengan pusat kota) senilai Rp 3.324.132.003,50.
Temuan kedua dijumpai pada pembangunan tanggul di Seipadang, Kecamatan Bajenis. Terdapat perubahaan pekerjaan pembangunan tanggul tanpa addendum kontrak yang berpotensi merugikan keuangan daerah sebesar Rp 1.321.816.816.
Sesuai kontrak timbunan pilihan yang dianggarkan sebanyak 11.216 m3 dan harga satuan Rp 117,851 atau seluruhnya Rp 1.321.816.816 (tidak termasuk PPN). Namun, ternyata tidak ditemui adanya pekerjaan timbunan pilihan pada lokasi pekerjaan. Yang didapati adalah pekerjaan beronjong penahan tanpa adanya adendum kontrak.
Temuan ketiga terjadi pada proyek pekerjaan beronjong di Kelurahan Banjar Utama menuju Kelurahan Bandar Sakti. Volume pekerjaan yang terpasang hanya 837,12 m3, atau kurang 85.88 m3 atau senilai Rp 49.331.017.
Temuan keempat ada pada pembangunan tanggul di Kelurahaan Lubukbaru, Kecamatan Padang Hulu. Proyek dengan volume 974.58 m3 dan harga satuan Rp 580.659 atau kesuruhannya Rp 565.898.648,22 ternyata hanya terpasang 913.59 m3 sehingga terdapat kekurangaan pekerjaan beronjong 60.99 m3 atau senilai Rp 35.414.392,41.
Temuan kelima dan merupakan yang paling besar terdapat pada proyek peningkatan Jl AMD Kelurahaan Bulian dengan pekerjaan pengerasan Beton K dengan jenis beton semen bersambung dengan tulangan. Volume pekerjaan dalam daftar kuantitas adalah beton K 300 sebanyak 498,75 m3 dan harga satuan Rp 1.020.027,40 per m3. Proyek sepanjang 410,00 m dengan lebar 6 m dan tebal 20 cm itu dibagi atas 82 segmen.
"Indikasi kerugian negara daerah pada dinas PU senilai Rp 35.414.392,41 dan potensi kerugian negara senilai Rp 128.984.957,51," kata Uchok.
Temuan keenam adalah kekurangan volume pekerjaan pemasangan atap dengan rangka kuda-kuda di RSUD Dr Humpulan Pane senilai Rp 6 miliar, namun ternyata anggaran yang terpakai hanya Rp 738 juta. BPK mencatat ada dana sebesar Rp 127 juta dari anggaran tersebut yang tidak dapat dipertangungjawabkan.
Uchok mengakui temuan berupa proyek yang volumenya kurang atau tidak sesuai kontrak, merupakan indikasi korupsi yang jamak ditemukan di berbagai daerah.
Menurutnya, dua jenis temuan ini bermula dari proses perencanaan dan penganggaran yang buruk di lembaga eksekutif dan legislatif. Kesalahan berlipat ganda pada pihak legislatif karena setelah proyek berjalan, tidak melakukan pengecekan.
"Seharusnya DPRD yang masuk dulu memeriksa, sebelum BPK. Kalau sudah begini kan mereka yang malu karena dipublikasikan ke publik," ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tebingtinggi, M Nurdin belum berhasil dikonfirmasi. Saat dihubungi, ponselnya tidak aktif. Sedangkan pesan singkat yang dikirimkan Tribun belum direspons.
Humas Pemko Tebingtinggi, Ahdi Sucipto mengaku belum tahu institusinya mendapat julukan terindikasi paling korup.
"Baru saja selesai BPK mengadakan pemeriksaan di Pemko Tebingtinggi dan tidak ada temuan seperti itu. Namun demikian akan saya kroscek," katanya melalui pesan singkat.
Koordinator Advokasi Fitra, Maulana, mengatakan berdasarkan Hapsem II/2012, nilai penyimpangan anggaran belanja modal untuk fasilitas umum di daerah sebesar Rp 726,4 miliar.
Maulana mengatakan terdapat 1.309 temuan penyimpangan pengelolaan anggaran di sejumlah daerah. Bila diurutkan berdasarkan nilai indikasi kerugian berdasarkan provinsi, predikat terkorup disandang Papua Barat, disusul Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Maluku Utara.
"Pertama yang paling tinggi itu di Provinsi Papua Barat dengan nilai indikasi kerugian Rp 86,8 miliar dengan jumlah 10 kasus," kata Maulana di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu.
Kemudian, untuk provinsi Kalimantan Timur terdapat 2 temuan dengan indikasi kerugian senilai Rp 29,6 miliar. Di Kalimantan Selatan, terdapat 8 temuan dengan nilai Rp 10,8 miliar. Sementara itu di Aceh terdapat 18 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 7,8 miliar. Adapun Maluku Utara jumlah temuan paling banyak yakni 28 kasus, tetapi indikasi kerugian daerah paling kecil dengan nilai Rp 5,7 miliar.
Sedangkan bila diurutkan berdasarkan wilayah kabupaten, maka predikat terkorup adalah Kabupaten Nduga (Papua), disusul Kepulauan Sula (Maluku Utara), Wajo (Sulawesi Selatan), Berau (Kalimantan Timur), dan Kapuas (Kalimantan Tengah).
"Kabupaten Nduga diduga rugikan senilai Rp 89,4 miliar dengan jumlah 8 kasus. Sementara temuan kasus paling banyak di Sula dengan indikasi kerugian Rp 55, 06 miliar," katanya.(ton/*)