TRIBUNNEWS.COM – Dua belas hari sudah sejak 20 Juni lalu, warga Syiah asal Sampang mengungsi dari GOR Sampang, pindah ke rumah susun (rusun) Puspa Agro, Jemundo, Taman, Sidoarjo. Tidak jelas sampai kapan mereka menghuni rusun milik Pemprov Jatim itu. Nasib anak-anak pengungsi pun menggantung.
Hari-hari anak-anak pengungsi Syiah asal Sampang itu memang tidak seleluasa di kampung halaman mereka di Karang Gayam, Sampang. Di rusun, ruang gerak anak-anak ini terbatas. Tidak ada sungai, tidak ada tanah lapang, apalagi bukit.
Kegiatan menggambar hanya satu dari sekian terapi pasca konflik bagi anak-anak pengungsi. Setelah menggambar, mereka menghabiskan hari dengan tidur dan menonton televisi. Sesekali mereka berlarian dan bermain lompat tali.
Anak-anak lain tekun mengamati gambar-gambar pemandangan yang baru mereka tuntaskan. Relawan menggantungkan gambar itu di beberapa utas tali di salasar rusun yang disulap menjadi tempat bermain dan rapat.
Aktivitas anak-anak ini setiap harinya dimulai sejak pagi. Usai mandi, mereka keluar kamar dan bermain di halaman rusun. Tidak ada kegiatan yang menonjol. Anak-anak ini hanya mengikuti program relawan untuk mereka. Berbeda di rusun, saat mengungsi di GOR Sampang mereka masih leluasa bermain. ”Di sini bosan. Semuanya semen. Tidak ada tanah, tidak ada bola,” kata Sulaiman.
Maksud bocah 10 tahun ini adalah tidak ada tanah lapang yang bisa dipakainya untuk bermain sepak bola. Di rusun, lahan kosong tidak begitu luas dan tertutup paving stone.
Meskipun menyimpan trauma, mereka sama sekali tidak takut kehadiran para jurnalis yang meliput. Zaki misalnya, beberapa kali menanyakan nama para jurnalis yang meliput di rusun. Dia dan beberapa temannya juga tidak segan meminjam ponsel milik jurnalis. Ponsel itu diutak-atiknya. Bocah 10 tahun itu ingin sekali memainkan aplikasi game.
Tentu saja anak-anak lain berusaha menguasai ponsel itu. ”Aku dulu In. Gantian......,” teriak Zaki kepada Mu’in yang berusaha merebut ponsel yang dipinjamnya.
Sikap polos anak-anak ini menutup rapi dampak konflik yang membelit orang tua mereka. Pemandangan rumah dibakar, hardikan intimidasi, sampai penganiayaan, sedikit terobati di kehidupan rusun yang letaknya 100 kilometer dari kampung halaman mereka.(idl)