TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan wartawan di Bantul, Yogyakarta, merayakan detik-detik proklamasi RI dengan cara berbeda, yakni dengan upacara di halaman makan Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin di Dusun Gedongan, Trirenggo, Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu (17/8/2013).
Sejak kematiannya 17 tahun silam, pemerintah hingga kini belum pernah menuntaskan pengungkapan kasus mantan wartawan Harian Bernas Yogyakarta itu.
Udin kemudian dijadikan icon kepahlawanan di kalangan wartawan dan media massa karena dia meninggal, diduga kuat karena kekritisannya menulis berita-berita yang menelanjangi ketidakadilan rezim Orde Baru dan militer saat itu.
Dalam upacara bendera yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia tersebut para wartawan mengusulkan untuk menjadikan Udin sebagai Pahlawan Pers.
Dianiaya, Tiga Hari Koma, Kemudian Meninggal
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964, berstatus Wartawan Harian Bernas saat dianiaya orang tak dikenal dan akhirnya meninggal pada 16 Agustus 1996 silam.
Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Harian Bernas sejak 1986.
Catatan Wikipedia, Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta.
Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut.
Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.
Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang barang bukti', yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Edy Wuryanto kemudian hanya dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.
Pengalihan Isu
Ada pihak-pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri Sumaryani, mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh suaminya.
Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur.
Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik."