TRIBUNNEWS.COM, SUBANG - Pemerintah Kabupatan Subang harus memastikan bahwa penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Kabupaten Subang telah memenuhi standar pelayanan minimal, sebagaimana diatur dalam Permendiknas No 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Pendidikan Dasar di Kabupaten dan Kota.
"Standar pelayanan pendidikan itu tolok ukur kinerja pelayanan dasar di jalur pendidikan formal yang diselenggarakan kabupaten atau kota. Jadi, jika ditemukan fakta siswa putus sekolah ke jenjang SMP karena aksesnya sulit dan biaya untuk menjangkaunya mahal, itu artinya standar pelayanan minimal pelayanan pendidikan di Subang belum sempurna," kata Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan Kabupaten Subang, Yaya Sudarya, kepada Tribun di Subang, Selasa (24/9/2013).
Dalam permendiknas tersebut, kata Yaya, ditegaskan bahwa dalam pelayanan pendidikan dasar di kabupaten atau kota itu harus tersedia fasilitas atau satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk tingkat SMP/MTS. Sementara di Subang terdapat sejumlah sekolah terpencil dengan jarak bisa mencapai 5 km.
"Di Cibitung, okelah di sana sudah ada satuan pendidikan tingkat SD. Tapi satuan pendidikan tingkat SMP, jarak desa tersebut dengan SMP lebih dari 6 km, malah sampai 10 km dengan biaya transportasi puluhan ribu. Ya jelas, itu tidak memenuhi standar pelayanan minimal," kata Yaya.
Berkaca pada fakta siswa di Desa Cibitung tersebut harus putus sekolah ke jenjang pendidikan SMP, bahkan harus menikah di usia dini, Yaya menegaskan bahwa itu sepenuhnya tanggung jawab kepala daerah.
"Fakta di Desa Cibitung itu sepenuhnya tanggung jawab bupati. Pasal 5 Permendiknas jelas mengatakan bupati atau wali kota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal. Itu sebabnya kami harap Bupati Subang turun tangan di samping mengoordinasikan masalah itu dengan Disdik Subang," kata Yaya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Yaya, solusi yang bisa diterapkan adalah dengan membuat program pendidikan satu atap tingkat SD-SMP. "Program satu atap tingkat SD SMP ini sudah ada aturannya. Bahkan dana BOS juga bisa digunakan untuk program satu atap, yakni tiap siswa ini mendapat jatah Rp 750 ribu. Itu diatur di Permendiknas No 76 Tahun 2012 tentang Juklak Juknis Penggunaan Dana Bos tahun 2013," ujar Yaya.
Wakil Ketua DPRD Subang Ahmad Rizal mengatakan kondisi pendidikan di Cibitung memang realitas yang terjadi di Subang saat ini. "Anggota DPRD dapil sana harus proaktif menginventarisasi daerah-daerah yang aksesibilitas ke sekolahnya rendah, kemudian mencarikan pos-pos anggaran yang sekiranya bisa mengatasi masalah itu. Dana untuk pendidikan itu besar lho, dari pemda, dari pemprov, bahkan dari pusat juga besar. Makanya kebangetan kalau daerah terpencil di Cibitung sana harus seperti itu," kata Ahmad.
Hal kedua yang harus dilakukan, kata Ahmad, dengan memberdayakan sekolah SMP yang sudah dibangun di sana. Caranya, kata Ahmad, dengan menghadirkan peran negara di tengah keterbatasan tersebut.
Satu-satunya di Subang
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang H E Kusdinar mengakui, di Desa Cibitung, aksesibilitas siswa ke fasilitas pendidikan tingkat SMP masih menjadi kendala. Puluhan siswa di sana, kata Kusdinar, harus mengeluarkan biaya untuk transportasi menuju sekolah dengan biaya Rp 20 ribu sampai Rp 20 ribu per hari.
"Di setiap daerah sulit atau daerah terpencil, pasti ada sekolah SD. Seperti di Kampung Sukasari, Desa Cibitung, di sana ada SD. Namun memang, aksesibilitas dari SD ke SMP itu masih jadi kendala," kata Kusdinar.
Fenomena siswa putus sekolah di Desa Cibitung, kata Kusdinar, terbilang satu-satunya di Kabupaten Subang. "Saya pastikan, secara ketersediaan fasilitas pendidikan, di Subang sudah terpenuhi, hanya memang di Cibitung ini saya rasa satu-satunya yang ada fenomena seperti itu," ujarnya.
Kepala SMP Cibitung Plus, Muhammad Heri Subekti, kepada Tribun di Subang, kemarin, mengatakan, sekolah swasta SMP Cibitung Plus di Desa Cibitung dimaksudkan untuk mencegah siswa putus sekolah setelah lulus SD karena tidak melanjutkan ke SMP, dengan alasan jarak yang sangat jauh dan biaya transportasi yang mahal.
"Sekolah ini dibangun tahun 2012 untuk mencegah siswa lulusan SD putus sekolah. Guru-gurunya juga dari luar sebanyak tujuh orang dan semuanya bukan PNS. Mereka mengajar di sekolah ini gajinya per jam Rp 12.500," katanya.
Meski digaji per jam Rp 12.500, dalam sebulan guru-guru tersebut hanya mendapat jatah mengajar 4 jam. Hal itu disesuaikan dengan keuangan sekolah yang tidak mendapat bantuan dari pemerintah.
"Paling besar gaji yang diterima guru-guru sukarela di sini Rp 50 ribu sebulan. Memang itu tidak layak karena untuk ongkos ke sini saja sudah lebih dari Rp 50 ribu. Tapi semuanya ikhlas, semuanya berangkat dari niat ingin mengajar di sini dan mencegah siswa putus sekolah ke SMP," kata Heri. (men)