News Analysis dari Berita
Caleg Mulai Cari 'Petunjuk': Makam Keramat Jadi Pilihan
Caleg Mulai Cari 'Petunjuk': Kompleks Pemakaman Menghiruk Jelang Pemilihan
Lima Caleg DPR RI-DPRD Jabar-DPRD Kota Kunjungi Makam Prabu Kian Santang
Caleg Partai Besar Seminggu Sekali Sambangi Petilasan Mbah Kuwu Sangkan
Klenik Jelang Pemilu Legislatif: Caleg Konsultasikan Dengan Paranormal Soal Makam Keramat
Caleg Datangi Makam Keramat Jelang Pemilu: Selipkan Foto di Pusara
Oleh Hatta Albanik
Pakar Psikologi Forensik dan Perilaku Politik Unpad
CARA-cara klenik untuk mendapat suatu jabatan sama dengan cara-cara curang dalam budaya modern. Jika kriminalisasi, membunuh, memfitnah, mencederai, dan sebagainya menjadi perbuatan curang yang rasional, maka cara irasional adalah dengan menggunakan jalur klenik seperti dukun dan santet. Cara apa pun yang digunakan, tentu mengindikasikan jabatan publik yang diincar hendak digunakan untuk hal-hal tidak baik.
Fenomena ini bisa dipandang dari tiga perspektif: segi budaya, psikologi individu, dan kondisi politik Indonesia kini. Dari segi budaya, suatu jabatan, tak hanya posisi legislatif, menjadi suatu posisi yang diagung-agungkan. Bahkan terkadang orang yang melakukan cara klenik untuk mencapai suatu jabatan dianggap mempunyai "kelebihan" atau memiliki wangsit dan sebagainya.
Hampir semua jabatan di budaya kita diikuti dengan penciptaan rumor-rumor mistis seperti itu. Kadang-kadang itu sengaja diciptakan dengan target masyarakat yang masih menempatkan unsur mistik dalam domain budayanya. Masih banyak masyarakat seperti itu, dan merekalah yang dieksploitasi.
Dari perspektif psikologi individu, ada beberapa kemungkinan seseorang mengeksploitasi nilai-nilai mistis yang primitif untuk mendapatkan jabatan publik di sistem pemerintahan modern. Faktor pertama, kecerdasan rendah, sehingga dengan mudah membenarkan hal-hal nonrasional untuk mendapat jabatan yang bisa dicapai dengan kemampuan rasional.
Faktor kedua, memang kapasitas kemampuannya itu rendah. Untuk bisa bersaing di antara kandidat yang begitu banyak, dia menggunakan cara-cara seperti itu. Mungkin kalau pemilihan di daerah terpencil, hal itu bisa berlaku. Namun ini menunjukkan perilaku amoral.
Melihat dari segi kondisi politik sekarang, screening individu oleh organisasi ataupun institusi terhadap orang-orang yang hendak menduduki jabatan politik terbilang lemah. Organisasi atau institusi ini rentan terhadap penyusupan perbuatan jahat.
Seharusnya dilakukan suatu penilaian. Jika suatu institusi politik, katakanlah partai politik, banyak merekrut orang-orang berlatar belakang kejahatan, layak tidak untuk dibubarkan? Misalnya diberi suatu sanksi. Sayangnya di Indonesia tidak ada mekanisme seperti itu. Padahal parpol menjadi pintu masuk untuk menduduki jabatan politik, yakni legislatif, menteri, komisioner, dan sebagainya.
Saya lihat, cara klenik yang primitif sama halnya dengan cara curang dalam budaya modern. Jika ditarik ke segi keagamaan, jika manusia merasa lemah, bisa meminta bantuan kepada Tuhan. Lalu kenapa larinya kepada manusia yang dipertuhankan dengan cara-cara tidak sesuai dengan ajaran agama? Mereka sudah bisa dianggap lengkap kejahatannya, dari segi agama, budaya dan psikologi.
Lalu bagaimana dampak terhadap calon legislatif yang mengandalkan hal-hal klenik untuk kemenangannya? Dalam psikologi, itu sugestif. Dia seakan-akan mendapat sugesti dirinya berhasil. Jika kenyataannya gagal, apakah itu akan memengaruhi kepribadiannya, misalnya mengalami gangguan jiwa dan bunuh diri karena tak terpilih.
Mengandalkan klenik juga menyebabkan beban psikologis yang besar. Dengan pergi ke hal klenik saja, orang tersebut mungkin sudah berusaha agar jangan sampai ketahuan orang lain. Dia tahu itu bukan perbuatan terpuji, tapi dilakukan juga karena merasa tak ada cara lain.
Konsep-konsep primitif masih menguasai perilaku para calon legislatif. Terkadang, tak hanya legislatif, dalam penyusunan kabinet juga masih banyak mengandalkan hal-hal klenik.
Relasi politik dan klenik di Indonesia terjadi karena banyak hal-hal tak terduga dalam politik. Banyak faktor tak terduga yang bisa memengaruhi situasi politik atau tindakan politik sehingga menimbulkan situasi ambigu atau ketidakjelasan. Hal ini membuat orang mengalami guncangan atau hilang percaya diri.