TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Tujuh tahun bukan waktu yang pendek. Selama itu pula, selembar kain kasa (perban) mendekam di perut warga Masingai RT 8 RW 2 Kupau, Tabalong, Husnaen (70). Diduga, kain itu tertinggal saat dia menjalani operasi prostat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pembalah Batung, Amuntai, Hulu Sungai Utara (HSU).
Operasi itu dilakukan pada 2006. Tetapi pascaoperasi, kondisi kesehatan Husnaen bukannya membaik malah terus memburuk.
"Setelah operasi itu, bapak saya tidak pernah sehat, malah bertambah sakit. Kami bingung," kata seorang anak Husnaen, Agus Triono (36) kepada Banjarmasin Post (Tribunnews.com Network) di Banjarmasin, Selasa (19/11/2013).
Diungkapkan Agus, empat bulan setelah menjalani operasi itu, terjadi pembengkakan di perut ayahnya. Tak hanya itu, kemudian muncul bisul bernanah yang tak kunjung hilang. Tragisnya, kondisi tersebut hanya diobati ke puskemas terdekat disertai pengobatan tradisional.
Husnaen tidak dibawa ke rumah sakit atau dokter untuk mengetahui secara detail penyebab penyakit tersebut. Itu terpaksa dilakukan karena keterbatasan kondisi ekonomi keluarga.
"Yang namanya orang kampung, ya pengobatan semampunya saja," ujar Agus.
Dari hari ke hari, bahkan tahun ke tahun, kondisi tersebut terjadi. Husnaen harus hidup dalam kondisi terus menahan rasa sakit. Barulah setelah penyakitnya kian parah, keluarga memutuskan membawa dia ke salah satu rumah sakit di Tabalong. Namun, karena peralatan medisnya terbatas, dia dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin.
Pada akhir Oktober 2013, Husnaen menjalani pemeriksaan di rumah sakit terbesar di Kalselteng itu. Berdasar hasil rontgen terdapat perban di dalam perut bagian kanan bawah yang dioperasi. Operasi pengambilan kain kasa langsung dilakukan.
"Kainnya sudah membusuk," ucap Agus.
Dia pun mengatakan sebelum menjalani operasi kedua, kondisi kesehatan Husnaen benar-benar parah. Tubuhnya panas yang diduga karena terinfeksi oleh bisul, terlebih ketika bisul itu pecah dan mengeluarkan banyak nanah bercampur darah. Dia pun tidak bisa lagi kencing secara normal. Harus dilakukan melalui selang kecil.
Kini, kondisi Husnaen sudah mulai membaik. Luka bekas operasi juga sudah agak kering.
"Kainnya saya simpan sebagai bukti telah dilakukan dokter di RSUD Pembalah Batung," ucap Agus.
Ditegaskan dia, keluarga menilai telah terjadi malapraktik yang dilakukan dokter yang mengoperasi Husnaen di Amuntai. Oleh karena itu dia meminta pertanggungjawaban rumah sakit itu melalui cara melaporkannya ke Ombudsman Kalsel.
"Kami sudah mengeluarkan banyak biaya. Sudah puluhan juta rupiah. Harapan kami, paling tidak, ada pertanggungjawabannya. Kalau bilang dirugikan ya kami sudah dirugikan. Dengan melapor ke Ombudsman, kami berharap tidak ada pasien lain yang mengalami nasib serupa," ujarnya.
Saat dihubungi, Direktur RSUD Pambalah Batung I Nyoman Gede Anom enggan berkomentar panjang. Alasannya, dia belum mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, apalagi operasi yang diduga bermasalah itu dilakukan pada 2006.
"Sekarang saya belum bisa memberi informasi, takut salah. Soalnya harus mencari dulu rekam medis dari pasien yang bersangkutan sehingga bisa diketahui siapa dokter yang melakukan operasi pada waktu itu. Besok pagi (hari ini) saya cari rekam medisnya, kemudian baru bisa memberi informasi," kata Nyoman.
Sementara Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel, Noorhalis Majid menegaskan, berdasar laporan yang diterimanya, Husnaen telah menjadi korban malapraktik yang dilakukan dokter RSUD Pembalah Batung saat melakukan operasi prostat. Husnaen bisa saja melaporkannya ke polisi karena sudah dirugikan.
"Namun kami akan melakukan mediasi antara pasien dan rumah sakit, agar ada pertanggungjawaban. Kami akan proses sesuai aturan, mengajukan surat laporan serta memanggil pengelola rumah sakit agar kecerobohan yang menyebabkan risiko bagi pasien tidak terulang lagi," ucap Noorhalis. (ee/tin)