News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Anggota DPRD Semarang Bagi-Bagi Asuransi Fiktif Rp 1,7 Miliar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Laporan Tribun Jateng Yayan Isro Roziki

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Sidang kasus korupsi asuransi fiktif DPRD Kota Semarang periode 1999-2004, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (29/11/2013).  

Perkara ini menyeret lima mantan anggota dewan saat itu. Mereka yaitu Ahmad Djunaedi, AY Sujianto, Sriyono, Purwono Bambang Nugroho, dan Elvi Zuhroh.

Sidang kali ini, mengagendakan pemeriksaan saksi.  Jaksa Ardito dan M Gandara, menghadirkan dua saksi. Yakni pimpinan dewan saat itu, Hamas Ghani, dan pimpinan cabang asuransi Pasaraya Life, I Nyoman W

Dalam kesaksiannya, Gani mengatakan mata anggaran asuransi untuk 45 anggota dewan saat itu muncul tiba-tiba. Dalam rapat-rapat pembahasan anggaran sebelumnya, mata anggaran itu tidak pernah ada.

"Mata anggaran itu muncul setelah Komisi C dan beberapa anggota dewan lainnya, bertemu wali kota di rumah dinas wali kota saat itu," kata Gani.

Saat itu, wali kota menjanjikan adanya tali asih untuk anggota dewan pascalengser. Namun, saat itu, format pemberian tali asih nantinya seperti apa, belum terpikirkan.

"Setelah melalui beberapa rapat, akhirnya disepakati dalam bentuk asuransi jiwa," kata dia.
Pagu anggaran yang dipatok untuk 45 anggota dewan sebesar Rp 1,7 miliar. Anggaran tersebut masuk dalam anggaran Sekretariat Dewan (Setwan).

"Kemudian disepakati mitra asuransinya adalah Pasaraya Life. Itu atas penunjukan langsung, tidak melalui mekanisme lelang," katanya. Namun, uang seharusnya disetorkan ke pihak asuransi itu kemudian dibagikan secara tunai. Nota kerjasama yang telah disepakati pun akhirnya tidak dilaksanakan.

"Saat itu atas saya yang membatalkan kerjasama itu. Untuk pembatalan itu masing-masing anggota dewan dikenai denda dua juta rupiah," ujarnya.  Dijelaskannya lebih lanjut, seharusnya tiap anggota dewan menerima uang Rp 44 juta.

Namun, setelah dipotong pajak dan lainnya, besarannya menjadi Rp 38 juta. Akan tetapi, karena harus membayar fee atau denda pembatalan, maka per orang akhirnya menerima Rp 36 juta saja. Berdasarkan laporan BPKP, akibat kasus ini keuangan negara dirugikan Rp 1,7 miliar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini