News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kearifan Lokal

Kepergok Tebang Pohon, Orang Ini Didenda Bayar Kambing

Penulis: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang yang kepergok menebang pohon ini digelandang di Balai Gempeng, balai khas Suku Sasak di Lombok, untuk diadili. Penebang pohon didenda kambing dan beras sekuintal.

Laporan: Agung Budi Santoso

TRIBUNNEWS.COM, LOMBOK - Sebuah pesta digelar di Balai Gempeng, rumah adat Suku Sasak, di Dusun Beleq, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, awal Desember 2013 lalu. Aneka makanan tampak disantap ramai-ramai oleh warga Suku Sasak. Ada daging ayam bakar, menu kambing plus aneka sayuran lezat tersaji di sana. Ada hajatan apa?

"Bukan hajatan, ini makanan disajikan oleh orang yang kena hukuman lantaran menebang hutan sembarangan," kata Japarti, Kepala Desa Gumantar, tempat Suku Sasak berdiam.

Rupanya, sebelum pesta adat digelar, ada seseorang bernama Rubi yang kena denda lantaran menebang hutam sembarangan. Hanya karena menebang sebatang pohon, ia harus membayarnya dengan seekor kambing dan sekuintal beras.

Santapan yang dimakan ramai-ramai itu rupanya bentuk bayaran denda yang harus dia tanggung akibat menebang hutan. Aksinya menebang hutan rupanya kepergok warga. Ia pun diseret ke Balai Gempeng untuk dihadapkan pada tokoh-tokoh adat setempat.

Mekel, sebutan untuk jaksa penuntut di Suku Sasak, memintanya didenda seberat-beratnya karena dinilai merusak kelestarian hutan. Kemudian Toak Turun, sebutan untuk hakim adat, memutuskan Rubi harus membayar kambing dan beras dalam bentuk masakan siap santap.

"Nah, makanan yang disantap ramai-ramai ini sebagai denda atas aksi dia menebang hutan," tutur Sahir, Kepala Dusun Beleq, kepada Tribunnews.com.

Suku Adat Sasak menyebut kearifan lokal melarang tebang pohon sembarangan itu dengan
nama 'Awiq-awiq.' Karena kearifan lokal tersebut, warga takut mengekspoitasi hutan secara serakah karena menyadari beratnya hukuman adat.

Pantas saja wajah hutan di sekitarnya tampak hijau lestari karena peraturan benar-benar ditegakkan.

Awiq-awiq tidak hanya berisi larangan membabat hutan sembarangan. Ada lima pranata yang berlalu di daerah setempat. Lima pranata itu adalah:

- Penghulu: adalah orang yang bertugas menegakkan agama. Yang melanggar larangan agama diawasi oleh penghulu.

- Raden: orang yang bertugas mengatur urusan khitanan.

- Mekel: sebutan untuk jaksa adat, menuntut para pelanggar aturan adat, termasuk penebang hutan, dengan hukuman berat di depan hakim.

- Mangku: orang yang bertugas mengawasi pengelolaan sumber daya alam.

- Toak Turun: orang yang bertugas sebagai hakim, memutuskan hukuman yang pantas untuk pelanggar Awiq-awiq.

Kearifan lokal larangan menebang hutan ini rupanya menarik perhatian para pegiat lingkungan. Apalagi lokasi tempat suku adat tinggal ini berada di kawasan rawan banjir dan longsor.

LSM Oxfam Indonesia, disokong Australian Aid kemudian menggandeng mitra lokal yakni LSM Koslata, memberikan pelatihan dan bimbingan kepada penduduk suku adat tentang pentingnya mewaspadai bencana.

Serangkaian program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) kemudian digelar. Antara lain latihan- latihan mengevakuasi korban bencana banjir, mendirikan tenda pengungsian, menyuplai logistik dan latihan pertolongan pertama untuk para korban.

"Penduduk Suku Sasak sudah punya kearifan lokal untuk mencegah bencana yakni Awiq-awiq. Kita tinggal mengasahnya dengan program Pengurangan Risiko Bencana," kata Jatmoko, Project Officer Oxfam Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini