TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Bank Mata Indonesia cabang Jawa Barat, yang berada di Rumah Sakit Mata Cicendo, mengalami kekurangan donor kornea mata.
Hal ini diakui Erna Tjahjaningtyas, Kepala Unit Bank Mata RS Cicendo. Bantuan donor kornea pun didatangkan dari Amerika, tapi seringnya sudah kedaluwarsa. Erna, yang juga dokter spesialis kornea, infeksi, dan imunologi, mengatakan, setiap tahunnya ada sekitar 50 kasus infeksi yang membutuhkan donor kornea.
Artinya, butuh minimal 25 orang donor setiap tahun. Fakta yang ada, pada 2013 hanya ada 3 orang pendaftar donor. Pendonor yang sudah meninggal dan diambil matanya ada 5 orang.
"Jika di Indonesia kekurangan donor, kita bisa mendapatkan dari luar negeri. Selama ini kita paling sering dapat dari Amerika. Biasanya yang dikirim dari sana itu kualitasnya sudah jelek. Biasanya grade D dan masa kedaluwarsa sudah tinggal dua hari, misalnya," kata Erna saat ditemui di ruang kerjanya di RS Cicendo, Jalan Cicendo 4, Selasa (7/1/2013).
Donor kornea yang sudah kedaluwarsa, kata Erna, tetap masih bisa dimanfaatkan. Ia mengatakan, kornea tersebut masih bisa diakali dengan pengawetan. "Kalau enggak begitu, pasien yang terinfeksi bisa berbahaya matanya. Sebelumnya kami juga beri tahu pada pasien soal kondisi donor," ujarnya.
Ada juga cara lain jika donor kornea benar-benar tidak ada, yakni penindakan sementara. Misalnya ada pasien yang korneanya terinfeksi, idealnya dicangkok kornea, tapi bisa dilakukan tindakan dengan flat konjungtiva. "Konjungtiva mata, atau lapisan bening mata pasien kami tutupkan supaya bola mata tidak keluar," kata Erna.
Pasien-pasien yang membutuhkan donor kornea, misalnya, pernah mengalami kecelakaan yang melukai mata, terkena infeksi mata, atau pernah mengalami infeksi, tapi meninggalkan jaringan parut di mata.
Tingkat keberhasilan cangkok mata, kata Erna, tergantung kualitas donor kornea. Donor kornea itu sendiri ada tingkatannya, mulai grade A yang terbaik hingga grade D yang paling rendah. "Karena kami seringnya dapat donor yang sudah kedaluwarsa, kadang sudah dua minggu bahkan dua bulan, keberhasilannya kecil. Dari sekian banyak, keberhasilan kami sekitar 20 persen," kata Erna.
Akibat sulitnya mendapat donor kornea, pasien akhirnya banyak yang diberi pengantar ke Bank Mata pusat di Jakarta untuk membeli kornea. "Ada tiga pasien yang saya beri pengantar ke Bank Mata pusat untuk beli kornea dari Filipina. Itu Rp 18 juta untuk satu kornea dan memang bagus kualitasnya," kata Erna.
Erna menjelaskan juga proses pendaftaran donor kornea. Pendaftaran dilakukan saat pendonor masih hidup, dilengkapi persetujuan dari keluarga. Saat meninggal, keluarga pendonor memberitahukan pihak rumah sakit.
Mata harus diangkat dalam 6 jam dan harus dicangkok ke pasien penerima dalam 24 jam. Dengan metode tertentu, mata bisa diawetkan dan bertahan selama dua minggu, tapi membutuhkan biaya jutaan rupiah.
Tidak semua orang bisa mendonorkan korneanya. Penderita glaukoma, hepatitis, AIDS, meningitis, rabies, dan orang yang pernah menjalani operasi katarak tak bisa mendonorkan kornea. "Kanker mata dan kanker darah atau leukemia juga tidak bisa. Kalau kanker jenis lain atau penyakit lain yang penyebarannya tidak sampai ke mata, tidak apa-apa," ujar Erna.
Banyak warga yang masih takut mendonorkan korneanya. Erna mengatakan, pihaknya terus-menerus melakukan sosialisasi agar warga berani mendonorkan matanya.
"Banyak yang takut matanya bolong saat diambil. Tapi kami kan akan menutup kelopak mata dan mengganjal di dalamnya agar tampak berisi. Ada juga kendala dari agama, tapi sebenarnya donor mata diperbolehkan dari sisi agama. Semua agama memperbolehkannya," kata Erna, yang juga sudah mendapat izin keluarga untuk mendonorkan matanya.