Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak untuk tidak bermain patgulipat dalam kasus Satinah, TKI yang divonis hukuman pancung di Arab Saudi.
Pasalnya, SBY dinilai cenderung hanya mau membayarkan uang untuk menunda hukuman pancung bagi Satinah yang rencananya dilakukan pada 3 April 2014.
"Presiden SBY harus membayar uang diyat (tebusan) untuk membebaskan Satinah, bukan membayar uang hanya untuk menunda pelaksanaan hukuman pancung," tegas anggota Komisi IX DPR RI Rieke Diah Pitaloka, Senin (31/3/2014).
Ia membeberkan, informasi termutakhir, keluarga mantan majikan Satinah bersedia menerima permintaan pemerintah Indonesia untuk memperpanjang tenggat pembayaran uang diyat, sehingga hukuman pancung tak jadi dilakukan pada 3 April 2014.
Itu kalau pemerintah mau membayar 5 juta Riyal atau sekitar Rp 15 miliar. Dengan dana itu, Satinah tak bakal dihukum pancung selama dua tahun ke depan.
"Pemerintah berpikiran untuk membayar 5 juta Riyal untuk menunda hukuman pancung selama dua tahun. Selama itu, pemerintah bermaksud melobi pemerintah Arab Saudi dan keluarga majikan untuk melepaskan Satinah. Itu pikiran yang naif," terangnya.
Pasalnya, kata dia, pemerintah selama ini hanya mengandalkan lobi formal untuk mengurus TKI yang bermasalah di negeri asing. Alhasil, lobi itu jarang mendapat hasil baik.
"Setelah dua tahun dan lobinya gagal, pemerintah tetap harus membayar 7 juta Riyal agar Satinah bebas. Jadi, total 12 juta riyal harus dibayarkan kepada Arab Saudi. Ini logika yang aneh," tandasnya.