TRIBUNNEWS.COM, GARUT - Tidak hanya sekitar 1,8 hektare hutan lindung di Kecamatan Pakenjeng dan Cikelet yang rusak akibat dibuat jalan sepanjang enam kilometer dan lebar tiga meter.
Hutan pinus di sekitar proyek pembuatan jalan ilegal itu pun ikut dibabat.
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Garut, Sutarman, mengatakan saat melakukan inspeksi ke kawasan tersebut, dinasnya menemukan batangan kayu yang menumpuk di pinggir jalan dan gundulnya kawasan hutan di sekitar jalan yang dibangun.
Hutan lindung yang rusak, katanya, terletak kawasan Reumah Kopi dan Puncak Ngeres di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Panyindangan pada Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cisompet dan hutan lindung di RPH Halimun pada BKPH Sumadra. Kerusakan ini, katanya, bahkan bisa dilihat langsung melalui pencitraan google earth.
"Ini sepertinya berlangsung sejak lama. Saat kami monitor ke sana, kayu terbiasa disimpan di pinggir jalan, menunggu diangkut. Banyak kayu rimba di antaranya yang ditebang, seperti puspa dan raksamala. Ini adalah tanaman endemik wilayah tersebut," kata Sutarman, Jumat (13/6).
Kabupaten Garut, katanya, hanya memiliki 166 hektare hutan produksi di Kecamatan Cikelet dan 5 ribu hektare hutan produksi terbatas di Kecamatan Baluburlimbangan. Sedangkan, sebagian besar hutan seluar 75 ribu hektare adalah hutan lindung.
Sebelumnya, hutan lindung di RPH Panyindangan pada BKPH Cisompet dan hutan lindung di RPH Halimun pada BKPH Sumadra mengalami kerusakan akibat dijadikan jalan sepanjang enam kilometer.
Sutarman mengatakan telah melaporkan pengrusakan hutan tersebut kepada Bupati Garut Rudy Gunawan.
Menurut Sutarman, pembangunan jalan secara ilegal di tengah hutan lindung ini merusak banyak pohon dan lingkungan hidup di hutan. Selain itu, diduga terdapat sengketa lahan di kawasan tersebut.
Sutarman mengatakan terdapat sebuah buldoser dan sebuah ekskavator di hutan tersebut yang digunakan untuk membuka jalan.
Setidaknya terdapat 11 operator kendaraan berat dan penjaga yang mengamankan pembuatan jalan tersebut. Secara administratif, jalan ini membentang dan menghubungkan Kecamatan Cikelet dan Kecamatan Pakenjeng.
Pelanggaran yang dilakukan, katanya, adalah memasukkan kendaraan alat berat ke dalam hutan lindung, merusak hutan, dan membuat jalan di dalam hutan. Hal ini langsung dilaporkan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti kemudian.
"Banyak versinya. Katanya pembuatan jalan untuk pengusaha hutan rakyat dan didanai Rp 250 juta. Ada yang bilang itu iuran masyarakat. Yang jelas, ini melanggar dan berbahaya bagi lingkungan. Sungai Ciarinem bisa kering karena perusakan hutan ini," katanya.
Kepala Urusan Humas, Hukum, dan Agraria, Perhutani KPH Garut, Jenal Abidin, mengatakan telah melaporkan Kepala Desa Girimukti (Dudi Hartono SH) dari Kecamatan Cikelet kepada kepolisian karena telah membuat jalan di kawasan hutan lindung tanpa menempuh prosedur secara sah.
"Menurut pengakuannya, jalan tersebut dibuat untuk meningkatkan ekonomi warga. Melalui jalan baru itu, warga Girimukti dapat melalui Jalan Pakenjeng untuk ke Kota Garut dengan waktu tiga jam. Biasanya kalau lewat Cikelet, butuh waktu enam jam," katanya.
Jenal mengatakan aktivitas pembuatan jalan dimulai 28 Mei 2014. Pada 30 Mei, Perhutani meminta aktivitas pengrusakan tersebut dihentikan.
Namun, pembuatan jalan tetap berjalan dan baru pada 10 Juni, Perhutani menutup paksa kawasan tersebut dengan membuat portal dan menarik kendaraan berat ke kantor Desa Cigalontang.
"Kami tidak bisa mengatakan ini penebangan karena tidak menggunakan gergaji, melainkan pengrusakan dengan alat berat. Kepala desa ini melanggar peraturan karena tidak berkoordinasi dengan kami dalam melakukan aktivitas di hutan lindung. Artinya ini adalah penggunaan kawasan hutan tanpa prosedur," katanya. (sam)