News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BERITA INVESTIGASI: Sedang Bermain, Kami Diselundupkan ke Bali

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi: human trafficking

TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Agustus 2013 tepatnya tanggal 13, tiga orang gadis yang semuanya masih di bawah umur sedang bermain di Pasar Dete, Magepanda, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Layaknya anak seumuran mereka, ketiganya ingin menikmati pagi di pasar tradisional itu.

Namun, siapa sangka pertemuan mereka dengan seorang wanita yang tak dikenal di pasar itu, akhirnya menjadi petaka bagi ketiganya di kemudian hari. AGS (15) beserta dua orang rekan sepermainannya direkrut oleh wanita itu, yang diyakini sebagai bagian dari agen penyaluran tenaga kerja ilegal di Bali.

“Saya awalnya tidak mau ikut, tapi dia bilang gaji saya di Bali nanti Rp 1,3 juta, sehingga akhirnya saya mau ikut,” ujar AGS kepada Tribun Bali (Tribunnews.com Network) yang menemuinya di sebuah rumah aman (safe house) di kawasan Badung, Jumat pekan lalu.

Pertemuan dengan wanita perekrut itu berlangsung singkat. AGS yang setuju dengan ajakan dia, kemudian minta izin untuk pamit lebih dulu ke orangtuanya. Namun si perekrut itu melarangnya.

“Dia bilang nanti saja pamit kalau sudah sampai Bali. Katanya, nanti saya akan ditelponkan dengan orangtua,” imbuh AGS yang hanya lulus SD ini.

Dia juga tidak tahu darimana wanita perekrut itu tahu namanya. Saat itu tiba-tiba namanya dipanggil oleh si perekrut. Akhirnya perjalanan panjang menuju Bali dimulai pada hari itu juga, yakni 13 Agustus 2013, atau hanya beberapa jam setelah bertemu. AGS dan dua kawan mainnya itu kemudian diselundupkan ke Bali.

Karena masih berusia 15 tahun sehingga belum memiliki KTP, mereka diselundupkan ke Bali dengan diangkut truk barang secara tersembunyi. Truk–truk barang itu sudah biasa dititipi untuk mengangkut tenaga kerja selundupan dengan bayaran sejumlah uang.

“Kami diangkut dengan truk-truk barang yang berbeda. Tepat di belakang jok sopir kan masih ada ruangan kosong yang agak sempit. Saya ditaruh di sana,” terangnya.

Saat truk hendak masuk ke dalam kapal untuk menuju Bali, AGS diminta untuk meringkuk di ruang di belakang sopir yang ukurannya sekitar 1x2 meter. “Pokoknya disuruh duduk, jangan sampai kelihatan dari luar, terutama di pelabuhan, karena sering ada pemeriksaan KTP,” terangnya.

Jika ada pemeriksaan, maka dia diminta perekrut yang mendampinginya untuk berbaring, kemudian tubuhnya ditutup dengan koran serta kain. Agar anak-anak itu tidak kelihatan jika pemeriksa melongok ke dalam truk, di atas koran atau kain yang menutupi tubuh mereka ditaruh tas-tas sebagai kamuflase.

Kondisi seperti ini dirasakan AGS selama empat hari empat malam atau selama perjalanan langsung dari NTT menuju Bali dengan menggunakan kapal. Selingan berbaring hanyalah saat ke toilet, atau ketika duduk untuk diberi makan.

“Saya sudah muntah berkali-kali dalam kendaraan itu. Kami nangis, mau minta balik saja, tapi tidak boleh dan dimarahi,” jelas AGS.

Pernah ketiga anak ini hendak jalan-jalan di kapal, tapi orang yang membawa mereka melarangnya. Ketiganya hanya diperbolehkan keluar truk jika hendak ke toilet. “Itupun kalau ke toilet harus pakai jaket besar, dan disuruh pakai topi agar terlihat seperti orang dewasa,” paparnya.

Ketiganya lolos dari pemeriksaan petugas di pelabuhan-pelabuhan, dan akhirnya sampai di Bali. Setelah sampai di Denpasar, mereka ditaruh di sebuah rumah sebagai penampungan. “Di sana sudah ada sekitar 30-an orang dari NTT juga,” jelasnya.

Tuan rumah di penampungan itu, menurut AGS, mengaku sebagai perusahaan penyalur tenaga kerja. Sehari di tempat penampungan, AGS kembali minta pulang, namun lagi-lagi ditolak. “Katanya gak usah pulang dulu, nanti kalau sudah punya uang baru pulang,” jelasnya.

Pun demikian janji akan diteleponkan ke orangtuanya jika sudah sampai di Bali ternyata juga hanya bohong belaka. Hari kedua di penampungan aksi kekerasan mulai dirasakan oleh para pekerja yang mencoba untuk melawan tuan rumah.

“Saya minta pulang, tapi malah orang PT (perusahan penyalur) ini marah. Saya dilempar pakai kunci, terus pakai sandal tapi tidak kena, akhirnya saya dilempar pakai kursi plastik dan kena,” ungkapnya. Belum cukup sampai di situ, AGS kemudian ditarik ke halaman rumah dan disuruh hormat menghadap matahari.

Perlakuan serupai juga diterima oleh rekan-rekan AGS. Bahkan BRT, rekan AGS, yang tidak diberi makan hingga dua hari.

Orang dari PT akan marah jika ada anak yang nangis, atau minta pulang atau mencoba kabur. “Kita pernah seharian hanya minum air langsung dari kran karena dihukum setelah mencoba kabur,” terangnya.

AGS akhirnya berhasil mendapatkan majikan yang dicarikan oleh PT itu. Saat menuturkan kisahnya kepada Tribun Bali, AGS sedang berada di sebuah rumah aman (safe house) di Badung setelah sebelumnya kabur dari tempat kerjanya di Denpasar. Sayangnya, AGS lupa tempat penampungan dan alamat persis majikannya itu.

Kasus tersebut sempat dilaporkan ke polisi oleh penampung AGS di safe house, namun karena tempat yang diadukan belum diketahui, maka belum ada langkah konkret dari kepolisian hingga kini.

“Setelah dari penampungan, saya kerja jadi pembantu, tidak boleh keluar rumah. Gajinya juga baru dikasih setelah kerja tiga bulan,” jelasnya.

Selama sembilan bulan di Bali, AGS sudah empat kali pindah kerja. Kerja pertama di kawasan Sesetan Denpasar. Namun di tempat kedua dan ketiga, AGS tidak tahu alamat persis rumah majikannya karena ia sama sekali dilarang ke luar rumah. AGS belum terima gaji di tempat kerja terakhirnya. Sebab, dalam perjanjian kerja, jika keluar sebelum masa kontrak habis, maka gaji tidak diberikan.

Pengungkapan Lemah
Menurut data dari Ikatan Keluarga Besar Flobamora NTT Daerah Bali, selama tahun 2014 ini saja sudah ada 8 korban perdagangan manusia yang laporannya diterima oleh pihaknya.

“Dari NTT, korban terbanyak berasal dari kota Maumere,” kata Lauren, Ketua Rukun Keluarga Besar Maumere (NTT) di Bali.

Lauren menambahkan, banyak kasus serupa yang dialami oleh pekerja di bawah umur dari NTT. Lauren bahkan sudah kerap mendampingi serta mengadvokasi korban-korban serupa saat berhubungan dengan pihak berwenang.

“Kami sudah sering menerima laporan seperti ini, beberapa anak bahkan kita dampingi dan sudah ada juga yang kami pulangkan,” ulasnya.

“Kami menerima informasi masih ada banyak korban perdagangan manusia seperti itu. Sekarang masih kami cari alamatnya,” kata Lauren.

Kesulitannya selama ini,  para korban umumnya tidak mau melapor, dan memilih langsung pulang ke kampungnya di NTT jika berhasil kabur dari penampungan. Lauren pernah memulangkan seorang pekerja setelah sempat dikurung dua bulan. “Setahun lalu saya menerima laporan langsung dari korban yang berhasil kabur. Dia dikurung dua bulan, HP disita, tidak boleh keluar rumah,” terangnya.

Pekerja itu kabur saat majikannya pergi. Bingung mau ke mana, wanita pekerja berumur 25 tahun ini hanya terus jalan sampai akhirnya bertemu sesama warga asal NTT.

“Dia kemudian dibawa ke tempat saya, tapi kondisinya memprihatinkan. Dia sudah linglung. Ditanya alamat rumah tempat dia dikurung saja tidak tahu. Dia terlihat tertekan secara mental,” tutur Lauren.

Tragisnya setelah beberapa bulan di kampung halaman, Lauren mendapat informasi bahwa wanita itu meninggal dunia akibat terinfeksi HIV/AIDS. “Jadi kami duga selama di tempat penyekapan ini dia diperkosa,” ulasnya.

Pada umumnya, korban perdagangan manusia dari NTT ke Bali adalah para wanita.

Tahun ini, Lauren juga pernah menerima kasus seorang pembantu yang bernama RTI. “Awalnya dia direkrut di Maumere kemudian dibawa ke Bali, lalu dikirim ke Jakarta. Setelah dua bulan dibawa balik ke Denpasar terus ke Lombok dan ke Singaraja,” urainya.

Nasib wanita itu juga tragis. Setelah bekerja di Singaraja sebagai pembantu, dia kemudian dibawa oleh majikannya ke Terminal Batubulan Gianyar. “Hanya dikasih uang Rp 50 ribu terus ditinggal begitu saja,” ulasnya.

Untungnya RTI ditemukan oleh polisi yang sama-sama dari NTT. RTI kemudian dibawa ke rumah Lauren untuk diamankan. “Sekarang kami sudah pulangkan dia,” terangnya.

Lauren menduga kuat, kasus-kasus seperti ini cukup banyak di Denpasar. Sayangnya, pengungkapan dan penindakan kasusnya masih nihil. Dari pantauan Lauren, sejumlah tempat yang diduga sebagai penampungan kini sudah mulai dikosongkan.

“Sekarang ada satu kasus yang sedang ditangani oleh Polresta Denpasar, tapi sudah berbulan-bulan belum rampung. Sampai sekarang belum P 21 (berkas selesai untuk diserahkan ke kejaksaan, red). Padahal kami sudah bolak balik bawa korban untuk diperiksa,” jelasnya.

Sementara itu, juru bicara sekaligus Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Bali, Kombes Pol Herry Wriyatmoko mengatakan, pihaknya akan menelusuri keberadaan laporan-laporan terkait penyelundupan dan perdagangan anak di bawah umur.

Ini Perbudakan Modern
Kasus-kasus perdagangan manusia (human trafficking), terutama dengan cara menyelundupkan tenaga kerja ke Bali, sebagian besar melibatkan warga asal Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai korbannya. Demikian menurut Ketua Umum Ikatan Keluarga Besar Flobamora NTT Daerah Bali, Yosep Yulis Diaz.

Dalam pandangan Yulis Diaz, minimnya lapangan kerja di NTT menyuburkan praktek yang lebih mirip sebagai perbudakan modern ini.

“Sampai bulan ini kami masih melakukan advokasi terhadap tujuh orang pekerja yang tidak digaji oleh majikannya,” kata Yulis Diaz pada akhir pekan lalu.

Disebutkan, biasanya para perekrut pekerja beroperasi di kampung-kampung atau pasar di NTT. Yang rawan jadi sasaran adalah para wanita di bawah umur dengan pendidikan rendah (maksimal lulus SD) serta berasal dari keluarga ekonomi lemah.

“Sebanyak 95 persen korban adalah wanita. Perekrut dapat Rp 2,5 juta setiap dapat satu orang,” kata Yulis Diaz.

Dari pengakuan para korban, pada umumnya masalah yang mereka hadapi adalah perlakuan tidak manusiawi dari tempat penampungan dan majikan.

“Dalam lima tahun terakhir ini, jumlah kasusnya semakin meningkat,” kata Yulis Diaz tanpa member data rinci.

Ironisnya, belum banyak kasus terungkap oleh aparat penegak hukum. Yulis Diaz menentang sistem pengupahan yang dipakai oleh penyalur tenaga kerja, yakni digaji sekali yang diberikan pada akhir tahun atau saat pekerja hendak pulang kampung.

“Dari pengakuan para korban kepada kami, malah ada yang tidak digaji. Padahal, mereka bekerja sampai malam, tidak terbatas waktu. Kalau seperti ini kan namanya perbudakan modern,” terang Yulis Diaz, yang mengaku bahwa anggota Flobamora di Bali sebanyak 50-an ribu orang.

Dari sejumlah kasus di mana Flobamora melakukan pendampingan, beberapa di antara korban sudah berhasil dipulangkan. Saat ini pihaknya masih mendampingi  secara hukum di persidangan kasus-kasus yang melibatkan tujuh pekerja, yang sebagian besar di bawah umur.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini