TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - H Satuki, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menceritakan, kisah sedih petani di musim giling 2014 ini bermula sejak sebelum musim giling.
Ketika itu, Mei 2014, petani mengusulkan HPP gula kepada pemerintah sebesar Rp 12.500. Usulan itu berdasarkan analisa usaha petani.
Pemerintah menindaklanjuti usualan itu dengan menunjuk tim independen. Anggotanya akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Tugas mereka membuat analisa usaha guna membentuk HPP. Berdasarkan analisa tim ini, Dewan Gula kemudian menemukan angka Rp 9.500.
Angka inilah yang kemudian disodorkan kepada pemerintah.
Kerja pemerintah berlanjut. Usulan dimatangkan. Hasilnya, 5 Mei 2014, melalui Kementerian Perdagangan (Mendag) keluar keputusan, HPP gula sebesar Rp 8.250.
“Jauh dari harapan kami,” ujarnya.
Meskipun jauh dari harapan, petani mau tidak mau, harus menaatinya sembari berharap ada kearifan pemerintah.
Harapan itu muncul di bulan Agustus. Mendag RI, M Lutfi, mengeluarkan peraturan No 45/M- DAG/PER/8/2014.
Isinya merevisi HPP dari Rp 8.250 menjadi Rp 8.500.
Sayang, di lapangan, peraturan menteri itu tidak bisa jalan. Menurut Satuki, APTRI kemudian mengirim surat kepada direksi PTPN XI, berharap melakukan penyesuaian dalam memberikan dana talangan kepada petani.
Dana talangan bukan lagi diukur dari HPP 8.250 per kg, tapi harus Rp 8.500 kg.
Permintaan itu tak bisa dipenuhi pihak PTPN XI. Direksi melalui suratnya menyatakan, terhitung mulai 8 September 2014 perusahaan negara ini tidak lagi bisa memberikan dana talangan sebesar HPP.
Penyebabnya, disebutkan jelas dalam dalam surat itu, perusahaan mengalami kesulitan keuangan.