News Analysis
Prof Ir Achmad Subagio MAGR PHd
Peneliti Pangan Universitas Negeri Jember
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Ketidakpastian harga pokok penjualan (HPP), setiap tahun akan menghadirkan kebingungan dan kegelisahan di tingkat petani tebu.
Mereka tidak tahu, apakah tebu yang dijual akan menghasilkan untung atau tidak.
Mereka tidak mengerti apakah biaya produksi bisa lebih rendah dari harga jual.
Semuanya serba tidak pasti. Pemerintah saat menetapkan HPP pun tidak banyak melibatkan petani.
Pemerintah lebih melihat hukum pasar. Misalnya dengan lebih mempertimbangkan harga gula internasional.
Maka jadilah HPP selalu menjadi pertarungan antara petani, pabrik, PTPN dan pemerintah.
Siapa kemudian yang dirugikan. Di urutan pertama tentu petani karena mereka entitas yang paling dilemahkan sistem. Kemudian disusul pabrik.
Mengapa pabrik? Karena pabriklah yang berhadap-hadapan dengan petani. Mereka tidak bisa membeli tebu dengan harga yang sesuai keinginan petani.
Bayangkan saja, petani berharap besar pada masa giling ini bisa untung. Eh, ternyata HPP yang ditetapkan jauh dari biaya produksi mereka.
Saking jengkelnya petani, mereka sampai membakar lahannya karena terus-terusan merugi.
Saya tidak setuju petani terus disalahkan karena kualitas tebunya jelek sehingga membuat rendemen rendah.
Padahal, tinggi rendahnya rendemen itu tidak hanya karena tebunya. Faktor pabrik juga dominan. Selama ini, pabrik banyak yang tidak transparan.
Para petani tidak tahu proses sampai muncul angka randemen itu. Tahu-tahu pabrik sudah bilang ini rendemenmu 7 persen. Kalau sudah begitu, petani tidak bisa berbuat banyak.