News Analysis
Fredhy H Istanto
Pemerhati Sejarah Surabaya
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Paradigma pengelolaan museum di negara kita, khususnya Jawa Timur dan Surabaya, masih jauh dari yang seharusnya.
Pengelolaan museum di sini masih menggunakan paradigma lama. Museum digambarkan sebagai tempat menyimpan benda bersejarah, titik. (Baca : Lagi, Anak Muda Gandrungi Museum)
Museum tidak dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Pemerintah dan swasta pengelola tempat yang mereka klaim sebagai museum, tidak melakukan fungsi-fungsi museum secara maksimal.
Fungsi itu misalnya, pendidikan, riset dan sebagai media pembangunan karakter berbasis masa lalu.
Surabaya sendiri sebenarnya memiliki semua prasyarat menjadi kota dengan museum mumpuni.
Masak kalah dengan Vietnam. Di Hanoi, kota yang kurang lebih, mirip dengan Surabaya, memiliki belasan museum dan selalu ramai dikunjungi.
Hanoi dan Surabaya tidak memiliki wisata alam. Untuk memajukan pariwisata, kedua kota ini harus menciptakan tempat wisata sendiri.
Nah, museum menjadi satu di antara wisata buatan itu. Di sini, ada Museum 10 Nopember, ada Mpu Tantular, ada juga HOS Cokroaminoto. Juga tidak lupa, House of Sampoerna.
Kita harus mengubah orientasi, membangun museum itu bukan untuk mendatangkan uang. Bukan duit targetnya.
Jadi jangan sampai ngomong daripada kucurkan dana miliaran untuk museum, mending untuk bayari sekolah anak-anak yang putus sekolah.
Dua masalah itu berbeda. Sudah tugas negara memastikan anak-anak bersekolah, dan sudah tugas negara pula memajukan sarana pendidikan.
Nah, museum itu masuk dalam sarana pendidikan. Harusnya seperti itu. Jangan memaksakan kepala museum untuk membuat untung museum dengan ukuran finansial.
Membangun museum yang baik itu memang mahal. Ada pernyataan menarik yang bisa jadi renungan kita.