TRIBUNNEWS.COM, MUNA - Di pengujung bulan Oktober lalu, Jumineng (55) terkejut melihat seekor burung gagak hitam terbang rendah dan berputar-putar di atas rumah. Mujineng yang lahir dan besar di Sleman, DI Yogyakarta, menganggap kehadiran burung gagak berarti bakal ada berita duka.
"Aku bilang ke mantuku, kok burung gagak itu muter-muternya lama," kata Jumineng saat ditemui baru-baru ini. Namun, sang menantu, tak menanggapinya secara serius.
Jumineng kemudian berharap, semoga keluarganya dijauhkan dari kabar duka. "Tapi, tahu-tahu begini," ujarnya.
Kehadiran burung gagak hitam di atas rumah orangtua Seneng diketahui tetangganya.
"Aku nggak ada firasat atau mimpi aneh. Cuma beberapa hari sebelum kejadian, saya dan tetangga lihat burung gagak hitam muter-muter di atas rumah Seneng. Burung itu juga sempat muter-muter di atas rumah saya, tapi langsung diusir sama bapak saya," kata Marini, tetangga korban.
"Kalau orang Jawa, burung gagak itu pertanda kematian," imbuh perempuan yang juga berasal dari Sleman itu.
Kabar duka itu diterima Jumineng dan suaminya, Mujiharjo (54), Senin (3/11). Mereka diberi tahu bahwa Seneng ditemukan tewas di Hongkong pada Sabtu, 1 November, atau sehari setelah Jumineng melihat burung gagak warna hitam.
Jumineng pingsan ketika diberi tahu bahwa putri bungsunya, Seneng Mujiasih menjadi korban pembunuhan di Hongkong. Kabar pahit tersebut didapat mereka terima melalui telepon seluler, pada Senin (3/11) pagi.
Sang pemberi kabar adalah Jumirah alias DJ Jemi dan Luh Rahayu, rekan Seneng yang juga bekerja di Hongkong.
"Kami percaya 100 persen karena mereka adalah teman Seneng semasa SMA. Setelah itu, istri saya pingsan-pingsan terus, syok. Saya juga pusing-pusing dan selanjutnya kami sekeluarga pingsan, neneknya Seneng yang usianya sudah 74 tahun juga pingsan," kata Mujiharjo.
Mujiharjo mengaku, ia sempat bicara dengan Seneng pada Rabu malam dan Kamis malam, di pengujung Oktober. Saat itu, Seneng menanyakan perihal transfer uang Rp 20 juta.
"Dia tanya, uangnya sudah diterima atau belum?" kata Mujiharjo.
Pertanyaan itu dijawab oleh anak pertama Mujiharjo atau kakak Seneng yakni Sri Suantoro.
"Saya juga sampaikan ke Seneng kalau uangnya sudah sampai. Sudah, begitu saja. Itu komunikasi terakhir," ujarnya.
Pada Jumat malam, Mujiharjo menghubungi nomor telepon Seneng. Namun Seneng tak kunjung mengangkat telepon genggamnya. Sekitar pukul 21.00 Wita, Mujiharjo kembali menelepon Seneng dan telepon diangkat.
Namun yang berbicara adalah seorang perempuan berbahasa Indonesia yang tak dikenalnya.
Perempuan itu menanyakan perihal transfer uang Rp 20 juta. "Saya jawab, sudah. Saya tanya, kok ibu yang mengangkat telepon, dia bilang Seneng baru pergi, tapi nggak tahu ke mana," kata Mujiharjo.
"Beberapa jam kemudian saya telepon lagi, tapi ibu itu lagi yang mengangkat, dia bilang Seneng sedang keluar. Saya nggak sempat tanya nama dia," ujarnya.
Mujiharjo mengaku menaruh curiga kepada perempuan itu. "Kami curiga, kenapa HP Seneng yang mengangkat bukan anak saya. Dia cuma bilang, anakmu baru pergi, nggak tahu kemana," kata Mujiharjo.
Selama sepekan sejak menerima kabar duka itu, Jumineng (55) terkulai lemas di lantai ruang tengah rumah. Tatapan matanya kosong. Ia syok dan kerap pingsan ketika ingat putri tunggalnya, Seneng Mujiasih (28).
"Sepertinya istri saya belum siap ditanya. Dia masih syok dan sering pingsan kalau teringat Seneng. Kegiatan istri saya belakangan ini, yah... seperti itu, lemas di lantai," ujar Mujiharjo.
Kabar duka itu juga membuat daya tahan tubuh Sri Suantoro, kakak Seneng, turun drastis. "Sekarang saya sedang sakit, yah karena kepikiran Seneng terus dan juga karena kemarau panjang," timpal Sri Suantoro.
"Nenek saya juga hanya bisa tiduran karena lemas setelah diberi tahu Seneng meninggal dunia," imbuh Sri sambil menunjuk seorang perempuan berambut putih yang juga terbaring di samping Jumineng.