Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Doan Pardede
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Sebanyak 3,9 persen atau sejumlah 17ribu dari total 1,6juta bayi bawah usia lima tahun (balita) di Kaltim mengalami gizi buruk.
Gizi buruk tertinggi ada di Kabupaten Bulungan (8,7 persen) dan terendah di Kabupaten Berau (0,8 persen).
Hal itu diungkapkan Nurul Wahdah, Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kaltim dalam Pembukaan pertemuan lintas sektor dengan agenda penyebaran 1000 hari pertama kehidupan di Gedung Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Samarinda, Selasa (18/11/2014).
"Kalau hitungan kita gizi buruk yang ada sesuai jumlah balita tahun 2013 itu 17ribu. Tapi gizi buruk ini mereka itu masih bisa berlari-lari, tidak seperti di Etopia. Tapi kalau dilihat standarnya dia sudah masuk data gizi buruk," jelas Nurul.
Permasalahan yang ada saat ini kata Nurul, enggannya orangtua membawa balitanya ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang ada di daerah masing-masing. Hal itu terlihat dari beberapa kasus yang datang berobat, sudah dalam kondisi parah.
Padahal kata Nurul, jika orangtua rutin mendatangi Posyandu dan ditemukan kondisi gizi dibawah standar, maka bisa langsung diintervensi dan kondisi balita tidak semakin parah.
Bukan hanya gizi buruk, Posyandulah menurut Nurul tempat paling stragtegis untuk mendeteksi semua pelayanan kesehatan masyarakat.
"Ada beberapa kasus kemarin, dia memang datang berobat. Setelah kita ukur dia ternyata gizi buruk, dia tidak pernah datang ke Posyandu," katanya.
Bila memang ditemukan gizi balita, maka intervensi bisa dilakukan dengan pemberian makanan tambahan. Namun kata Nurul, pemberian makanan tambahan hanya menyelesaikan 15 persen masalah penanganan gizi buruk ini.
"Bantuan pemberian makanan tambahan hanya akan mengurangi masalah sekitar 15 persen dan 85 persen sisanya didapat di rumah.
Ini kembali ke pola asuh. Kalau bicara pola asuh bukan Dinas Kesehatan lagi urusannya. Ada dinas lain yang bertanggung. Pengetahuan, pendidikan orangtua kan berpengaruh. Makanya kita bersinergi," kata Nurul.
Dan kembali lagi kata Nurul, untuk menekan angka balita gizi buruk diperlukan kerjasama lintas sektor diantaranya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Dan kalah penting adalah melibatkan kader-kader PKK didaerah.
"Dia yang akan kita latih nanti untuk ke kesehatan. Supaya bisa perpanjangan tangan kami SKPD terkait tadi. Jadi PKK jangan dipandang sebelah mata. Dia punya potensi yang luar biasa, sudah tidak digaji,' katanya.
Dan yang tak kalah penting lagi kata Nurul, pengetahuan dan pemahaman orangtua juga bisa mempengaruhi pola asuh orangtua. Untuk itulah, pemerintah daerah harus segera memetakan dan mengetahui jumlah persis angka putus sekolah di daerah masing-masing.
"Itu riskan, pengetahuannya dia nanti besok. Potensi ke pola asuh juga akan berpengaruh. Tapi tidak menutup kemungkinan kami di kesehatan tetap melakukan edukasi. Ya itu melalui PKK, karena dia mempunyai organisasi sampai ke tingkat bawah dia dasawisma itu menangani 10 sampai 20 rumah tangga," katanya.