TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA – Jumlah anak bermasalah hukum yang diadili di pengadilan tahun 2014 ini menurun signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang 2014 hanya ada 57 anak yang masuk ke meja hijau. Sementara tahun 2014 mencapai 68 anak.
Direktur Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Edward Dewaruci mengungkapkan, penurunan pengadilan anak terjadi pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Agustus 2014 lalu.
Undang-undang ini mengamanatkan agar penyelesaian kasus anak lebih mengutamakan proses pembinaan, bukan lagi penghukuman. Hal itu bisa dilakukan dengan proses diversi atau pengalihan dari hukuman formal menjadi informal melalui proses musyawarah dan mediasi.
Selama Agustus hingga Desember 2014 telah ada 21 tersangka anak yang di diversi.
Artinya mereka tidak perlu dibawa ke pengadilan, tetapi dilakuakn proses pembinaan seperti kerja sosial di liponsos maupun shelter yang disediakan pemerintah.
“Di sini anak tak lagi dihukum tetapi bagaimana mereka dibina menjadi anak yang baik. Dan ini dalam pengawasan masyarakat setempat sehingga segala perilakunya bisa dikontrol,”terang Tetet, panggilan akrab Edward Dewaruci saat ditemui, Sabtu (27/12/2014).
Kasus-kasus yang bisa dilakukan diversi ancaman hukumannya kurang dari tujuh tahun serta tidak membimbulkan kerugian permanen seperti cacat atau kehilangan keperawanan (kasus pencabulan).
Sementara, 57 anak yang dibawa ke pengadilan, kebanyakan perkara pencurian biasa (19 perkara), pencurian dengan pemberatan ( 9 perkara), tawuran (8 perkara) serta pencabulan yang korbannya anak-anak (8 perkara).
Mereka kini juga tidak diperkenankan ditahan di rumah tahanan negara (rutan). Sebagai gantinya, mereka ditampung di lembaga penempatan anak sementara.
Di jatim hanya ada empat LPAS yakni Petirahan Bimasakti, Batu. Panti Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban Narkoba di Dukuh Kupang Surabaya, LP2A Jombang serta SCCC Surabaya.
Sejak Agustus lalu, SCCC telah menampung empat terdakwa anak.
Sebagian diantaranya sudah diputus dan beberapa lainnya masih proses peradilan.
Putusan kasus anak inipun tidak semuanya dipenjara. Beberapa diantaranya dikembalikan ke orangtua dengan pengawasan lurah, RT/dan RW setempat.
”Sayangnya UU 11/2012 ini belum ada peraturan pemerintahnya sehingga kurikulum materi pembinaan belum ada. Dan belum semua aparat hukum. (UUS)