TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Pelaksanaan kurikulum 2013 (K13) di Kabupaten Bantul masih menjadi polemik.
Di satu sisi pemerintah tetap ingin melaksanakan, tetapi di sisi lain guru merasa keberatan dengan sistem penilaiannya.
Pakar fenomenologi dan pengamat pendidikan yang sekaligus Dosen di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Rahmat Santoso mengungkapkan, sejauh ini pemberlakuan K13 sebenarnya telah meninggalkan substansi dasar yang dibutuhkan.
Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, masalah kenakalan mulai dari tawuran, video porno dan minuman keras luput dari perhatian.
Dengan pelaksanaan K13 ini, moral siswa diharapkan lebih terbentuk dengan cara guru mengenal secara intensif siswanya.
Namun sayangnya, yang terjadi selama ini justru lebih mengutamakan penilaian dibanding proses sehingga belum diketahui efek dari K13.
"Di K13 ini guru memang harus lebih kreatif. Itu memang susah sekali mengingat budaya yang sudah terbangun sejak dulu pelaksanaan kurikulum itu terukur," papar Rahmat saat ditemui di Bantul, Kamis (1/1/2015).
Untuk mengatasi masalah ini, harus ada perubahan pola pikir dan tindakan (action) para guru. Tentunya, itu memerlukan desain dari atas yakni kementerian.
Agar tidak terpusat, maka harus ada pelimpahan wewenang tertentu kepada daerah dalam melaksanakan kurikulum. Namun sayanganya, segala sesuatu dalam pelaksanaan kurikulum masih selalu terpusat.
"Bahkan urusan buku saja pusat. Saya rasa perubahan pola pikir dan action tidak butuh waktu lama kalau serius. Misalnya diadakan pelatihan ya jangan banyak orang sekaligus," tambah Rahmat.