Laporan Wartawan Surya, Sylvianita Widyawati
TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Maksud pengiriman tujuh peti mati, delapan nisan plus satu kuintal beras, 10 kilogram gula dan dua kardus air mineral masih belum dapat dipahami keluarga Suprianto (38) hingga Jumat (20/3/2015).
Warga Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang itu menerima kiriman aneh dari sopir yang merasa sudah dibayar oleh pemesan atas nama Mujiati yang tak lain saudara Suprianto.
Suprianto memang punya kakak bernama Mujiati yang tinggal di Malaysia. "Tapi sampai sekarang, saya enggak paham apa maksud kakak saya," ungkap Suprianto ketika SURYA mendatangi rumahnya di wilayah Malang selatan.
Mujiati jarang pulang ke Sendangbiru sejak menikah dengan warga Desa Sumbertangkil, Kecamatan Tirtoyudo. Keluarganya di Sendangbiru juga lama tak bersua dan tak berkomunikasi dengannya.
Informasi Mujiati merantau ke Malaysia baru diketahui Suprianto dari nomor telepon yang diberikan sopir truk pengantar peti mati berikut batu nisannya. "Saat kiriman datang pukul 06.00 WIB, saya masih tidur," kenang Suprianto.
Sehari-hari pria yang berprofesi sebagai nelayan di Sendangbiru itu tidak mengetahui pekerjaan kakaknya selama di Malaysia. Sebelum tahu isi kiriman paketnya, ia menghubungi nomor yang diberikan sopir truk.
"Yang menerima suara perempuan. Dia bilang barang-barang itu minta dibagikan. Bagi-bagien, Le (bagi-bagikan saja, adikku)," cerita Suprianto kepada Surya.
Ketika Suprianto menelepon Mujiati, Dewi istrinya juga ikut mendengarkan. "Itu benar suara Mbak Muji. Saya hafal suaranya," tutur Dewi yang menemani suaminya ketika menemui wartawan SURYA.
Karenanya, mereka tak beperangsangka buruk ketika menerima paket aneh untuk perlengkapan penguburan itu. "Yang membuat shock adalah batu-batu nisannya sudah ada nama-namanya," ungkap Suprianto.
Di antara nisan itu, tertulis namanya, nama saudaranya dan anak-anak Mujiati. Sontak Suprianto lemas dan pucat. Ia kemudian mengingat satu persatu nama yang ditulis di batu nisan itu. Mulai dari yang tertua, Nyardi, Yatin, Mujiati, Suprianto dan Poniyem. "Kami lima bersaudara," kata Suprianto.
Selain itu, Mujiati juga memesan batu nisan bertuliskan nama dirinya dan dua anaknya, Vivo dan Leli, dari perkawinannya dengan petani Sumbertangkil. Ada satu nisan lagi atas nama Shodiq, kerabat mereka yang sudah meninggal 20 tahun lalu saat masih kecil.
Awalnya sempat ada dugaan, nisan-nisan itu untuk memperbaiki nisan-nisan keluarga yang sudah jelek. Tapi ternyata malah berisi nama-nama anggota keluarga mereka. Setelah kejadian itu, keluarga Suprianto sudah malas menghubungi kakaknya.