TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Suasana haru sangat terasa di Instalasi Forensik RSUP Sanglah.
Hamidah menangis histeris meratapi putri keduanya, Angeline, yang tidak pernah ditemuinya selama delapan tahun terakhir sudah menjadi jenazah.
Hamidah sama sekali tidak menyangka harus dipertemukan dengan buah hatinya dengan kondisi dan keadaan yang tragis seperti saat itu. Ia terus berontak, terus meronta, dan terus mengamuk histeris mencoba untuk masuk ke kamar jenazah tempat putrinya disemayamkan.
Karena kondisi psikisnya yang belum stabil, empat orang yang terdiri dari pihak kepolisian dan pihak Instalasi Forensik RSUP Sanglah pun berusaha menenangkannya dan mengamankannya.
Hamidah merupakan ibu kandung dari Angeline yang sempat hilang selama 25 hari dan ditemukan meninggal di belakang rumah ibu angkatnya di Jalan Sedap Malam No 26, Kesiman, Denpasar, Rabu (10/6/2015) pukul 10.25 Wita.
Ia mengetahui kabar darah dagingnya tersebut meninggal seusai menonton siaran lansung pemberitaan ditemukannya jenazah Angeline di televisi. Wanita asal Banyuwangi Jawa Timur ini kemudian datang ke RSUP Sanglah bersama seorang kerabatnya yang bernama Supri.
Mama... Datang Angeline !
Hingga petang, Hamidah masih menangis di ruang tunggu Instalasi Forensik RSUP Sanglah.
Hamidah sudah tampak lemas dengan tangan gemetar dan tangisannya sudah sedikit mereda.
"Mama...datang Angeline....mama datang," ujar Hamidah sesenggukan sembari menyandarkan bahunya ke salah satu rekannya yang bernama Lina.
Dalam suasana duka, Hamidah sempat bercerita bahwa pada Selasa (9/6/2015) atau sehari sebelum penemuan jenazah Angeline, ia sempat bermimpi dipanggil oleh seorang anak wanita yang meminta tolong untuk digendong.
"Saat itu niatnya saya mendekati suara itu, tapi ada juga suara yang tidak mengijinkan saya mendekati suara itu. Saat itu tiba-tiba semuannya buyar," terang Hamidah yang hanya seorang ibu rumah tangga.
Menurut penuturan Supri, Hamidah menikah dengan suaminya yang bernama Rosidiq dan dikaruniai tiga orang anak. "Angeline merupakan anak kedua. Sedangkan anak sulungnya di Jawa dan anak yang bungsu di rumah Hamidah," terang Supri.
Tak Mampu Bayar Persalinan
Ia menceritakan, Hamidah yang berasal dari Banyuwangi dan tinggal di Poh Gading, Jimbaran, ini melahirkan Angeline delapan tahun silam di klinik bersalin yang terletak di kawasan Canggu, Kuta Utara.
Saat itu, kondisi dari Hamidah tidak mempunyai cukup uang untuk membayar biaya persalinan Angeline.
Namun, tiba-tiba Margareith CH Megawe, yang baru dikenalnya di klinik tersebut dengan nama Bu Telli menawarkan bantuan untuk membiayai persalinan Angeline. Namun, dengan syarat Margareith harus diijinkan untuk mengadopsi Angeline.
"Setahu saya ada kesepakatan keduanya bahwa Angeline dapat kembali dengan Hamidah setelah berusia 17 tahun. Namun, jika terkait catatan atau dokumen tertentu terkait pengadopsian Angeline kepada Margareith, saya kurang paham," ujar Supri sembari menenangkan Hamidah yang terus menangis histeris.
Tiga hari setelah persalinan, Angeline pun dibawa oleh Margareith. Dan, semenjak itu Hamidah tidak sekalipun dapat bertemu dengan putrinya tersebut. Bahkan, mulai saat itu Hamidah putus kontak dengan Margareith.
Warisan Ayah Angkat dari AS
Saat disinggung mengenai keberadaan suami dari Hamidah, Supri mengaku kurang mengetahui keberadaannya. "Hamidah dan suaminya sudah cukup lama pisah ranjang. Setahu saya di bekerja dan tinggal di Sanur. Entah, katanya dia sempat ke sini tadi atau tidak," ujarnya.
Terkait dengan isu warisan yang diberikan kepada Angeline oleh ayah angkatnya, suami Margareith yang berasal dari Amerika Serikat, Hamidah hanya bisa menggelengkan kepala dan Supri pun tidak tahu menahu.
"Saya, bahkan Hamidah tidak pernah bertemu dengan ayah angkat Angeline, jadi tidak pernah tahu permasalahan warisan tersebut," terang Supri.
Tangis dan ekspresi kesedihan yang mendalam tidak bisa lagi dibendung oleh Hamidah. Ia sangat merasa kehilangan putrinya tersebut meskipun selama delapan tahun terakhir tidak dapat bertemu.
"Ibu belum sempat ketemu kamu nak...mengapa kamu meninggal dengan cara seperti ini? Yang bunuh kamu harus mati nak...harus mati..Saya tidak terima," histeris Hamidah sembari tersimpuh memegangi gagang pintu kamar mayat yang saat itu dalam keadaan dikunci.
Hamidah pun berkali-kali sempat berujar dengan emosi akan membunuh orang yang tega merengut nyawa putrinya.
"Kenapa anakku dibunuh? Kenapa tidak dikasi ke aku? Aku masih sanggup hidupi anakku... Aku mau yang bunuh itu hukum mati...hukum mati saja segera...," teriak Hamidah dengan luapan nada suara yang emosional.
Bahkan, Hamidah sempat meluapkan emosinya dengan menendang kereta dorong berisi jenazah yang berada tepat di hadapanya.
Beberapa orang yang simpatik dengan Hamidah dan Angeline pun sengaja datang ke Instalasi Forensik RSUP Sanglah untuk menyampaikan bela sungkawa.
Rara, wanita asal Pemogan, Denpasar, sempat meneteskan air mata ketika melihat pemandangan haru di matanya. Saat itu ia sengaja untuk menyampaikan rasa simpatinya kepada Hamidah yang tidak henti-hentinya menangis.
"Saya merasakan apa yang Hamidah rasa," ujarnya sembari mengusap air matanya.
Saat itu, Rara pun langsung membujuk Hamidah untuk beristirahat dan bersedia mengajak Hamidah pulang ke rumahnya.
Namun, karena enggan untuk diajak pulang, Hamidah hanya dirangkul untuk beristirahat sejenak di mobil milik Rara. Saat berjalan menuju mobil, Hamidah sempat beberapa kali terjatuh karena lemas.
Langit mulai gelap. Hamidah sudah lemah dan tak berdaya.
KOMPAS.com/SRI LESTARI
caption: Ibu kandung Angeline, Hamidah saat histeris didampingi temannya.
Ia hanya bisa terlelap dan sesekali menangis pelan di dalam mobil Rara.
Saat itu beberapa saudara, bahkan mantan suami (ayah Angeline) Rosidik, dan mertua Hamidah pun turut datang untuk menenangkannya.
"Kami sudah seminggu di Bali, dan ada juga beberapa kerabat langsung datang dari Banyuwangi," terang mantan mertua dari Hamidah.
Rosidik terlihat lebih tegar. Tapi ia tak memberikan komentar ketika dimintai keterangan oleh awak media.
"Maaf mas, lagi berduka... kita belum tahu nanti seperti apa. Biar kita tunggu kepolisian," ujarnya. (eka mita suputra)