Fatwa MUI juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden meminta Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek dan Kepala BPJS Kesehatan Fahmi Idris untuk berdialog dengan MUI.
Obral Fatwa
Said Aqil menilai MUI terlalu sering mengeluarkan fatwa. "MUI terlalu mudah berfatwa," ujarnya.
Fatwa tentang BPJS Kesehatan itu hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa V se-Indonesia Tahun 2015. Fatwa ini sekaligus memerintahkan pemerintah segera membentuk BPJS Kesehatan Syariah.
Padahal, menurut Said, ulama memiliki metode khusus dalam memberikan fatwa. Ia membandingkan MUI dengan lembaga pemberi fatwa di Mesir yang dalam satu tahun hanya mengeluarkan dua sampai tiga fatwa.
"Bahkan pernah sampai sembilan (fatwa) dalam setahun," kata Said.
Menurut Said, para peserta muktamar ke-33 NU di Jombang nanti akan membahas sejumlah permasalahan yang mengemuka di Indonesia, antara lain, aturan hukum BPJS, hukum pemimpin atau wakil rakyat yang mengingkari janji kampanye, penghancuran kapal pencuri ikan, hukum memakzulkan pejabat, hukum mengeksploitasi alam berlebihan, utang luar negeri, serta perlindungan dan pencatatan pernikahan bagi TKI umat Muslim di luar negeri.
"Misalnya pemerintah mengingkari janji kampanye, dosanya seperti apa, kami bahas itu nanti,” kata Said.
MUI mengeluarkan tinjauan mengenai BPJS Kesehatan dalam keputusan yang dihasilkan forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, Juni 2015.
Dalam ijtima itu, Komisi Fatwa MUI menyebut bahwa iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan tidak sesuai ketentuan syariah. Lalu apa yang menjadi dasar pertimbangannya?
Wakil Ketua Umum MUI, Prof Dr Ma'ruf Amin, menjelaskan, yang menjadi persoalan bukanlah subsidi silang yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan.
Namun, sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Ma'ruf, masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana.
Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Adapun, maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi.
Sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
"Kalau itu dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya, seperti berjudi. Karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar Ma'ruf.