Laporan wartawan Tribun Jabar, Mumu Mujahidin
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Sejumlah pengunjung tampak antusias mengunjungi stand produk khas Lombok Sumbawa NTB, Minggu (04/10/2015).
Kain cantik dan unik ini mampu menarik minat pengunjung yang didominasi kaum perempuan tersebut.
Beberapa produk UKM khas NTB yang dipamerkan, diantaranya Kain Songket lombok, Sumbawa, Bima, Kain iket atau endek serta gerabah dan aksesoris kerang mutiara khas NTB.
Produk-produk unggulan tersebut nantinya akan diperkenalkan ke pasar dunia.
"Khusus kain songket kita mendapat penghargaan Internasional dari Unesco pada 2014 khusus untuk teknik menenun kain selendang atau iket," ungkap Maya Rahmayati (37) Kepala Museum Negeri NTB.
"Karena kain ini adalah produk budaya, maka saat ini kita berupaya untuk menjual produk budaya serta pariwisata ke dunia Internasional," tutur Maya yang ditemui di sela-sela kesibukannya.
Khusus kain Maya juga menambahkan menghindari printing, karena menurutnya selama ini sudah banyak produk kain motif Lombok maupun Sumbawa dalam bentuk printing.
"Kami menghindari printing demi menjaga kualitas serta sejarah. Setiap kain itu memiliki motif yang bermakna," ujar Maya.
Selain itu kata dia printing hanya akan menguntungkan para pelaku industri saja.
"Upaya ini demi kesejahteraan para perajin juga," tambah Maya.
Untuk motif-motif kain songket sendiri menurut Maya ada bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah motif rangrang, motif kristal, keker (burung merak), serta lepang yang berarti kodok.
Husnul (19) seorang perajin asal NTB mengaku dirinya dapat membuat satu lembar kain berukuran 2x60 cm selama satu bulan.
"Tergantung motif kadang kalo motifnya susah bisa sampai tiga bulan," ungkap Husnul yang ditemui di standnya.
Selain kain songket dalam pameran tersebut juga terdapat mesin atau alat tenun. Menurut pantauan tribun, Minggu siang sekitar pukul 10.30 Husnul tampak sedang mempraktekkan cara menenun kain songket.
Dan hal tersebut tentunya semakin menarik minat para pengunjung. Bagi para pengunjung yang penasaran, mereka diperbolehkan mencoba langsung alat tersebut.
Husnul sendiri mengaku sudah belajar menenun dari sejak kelas 3 SD, dan mulai mahir sejak kelas 4 sekolah dasar setelah satu tahun belajar
"Kalo perempuan Lombok ga bisa nenun, dia tidak diperbolehkan kawin," canda Husnul dengan logat Lomboknya yang begitu kental. (*)