TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Mapolrestabes digawe main gaple. Kapolrestabes sampek Dandim melok main gaple. Kapolda mrene mung inspeksi. Iki nunjokno kesatuane TNI dan Polri.
Pernyataan ini keluar dari mulut AKBP Dody Eko Wijayanto, Dalang Wayang Orang van Hoofdbureau di Mapolrestabes Surabaya, Sabtu (10/10/2015) malam.
Dalang yang memimpin wayang orang ini berbeda dengan dalang lainnya, mengenakan seragam polisi dengan pangkat dua melati di pundak. Hanya blangkon yang menyamakan dengan dalang lainnya.
Tangan Eko Wijayanto meliuk-liuk menggerakkan wayang sesuai dendang gendang di sampingnya. Matanya pun awas melihat gerakan wayang yang diperankan polisi dan TNI.
Selama menjadi dalang, Dody tidak hanya menggunakan suluk, yaitu lagu vokal yang dilantunkan dalang untuk memberikan suasana tertentu dalam pertunjukan wayang.
Dody juga menggunakan Bahasa Jawa ngoko dan Bahasa Indonesia. Beragam kritik dan fakta tentang Kepolisian keluar dari bibir mantan Kabagsumda Polres Madiun Kota ini. Seperti saat Dody mengungkap tentang gaji seorang polisi. Ênêk klêntêng diiseni. Polisi ganteng bayarane entek dipangan BRI.
Meskipun sarat kritik dan mengungkap fakta, undangan peresmian Gedung Mapolrestabes Surabaya yang mayoritas anggota polisi tidak marah. Malah para undangan tertawa dan memberi tepuk tangan setiap kali Dody melontarkan kritik.
Usai pertunjukan, beberapa undangan menyalami dan mendorong Dody mengembangkan bakatnya. “Apa yang saya lontarkan tadi memang kritik dan fakta, seperti permainan gaple. Kalau dikemas khusus, kritiknya kan tidak menyakitkan,” kata Dody usai pertunjukan.
Wayang orang ini mengambil tema perjuangan polisi dan pejuang merebut kemerdekaan dan markas yang sekarang menjadi Mapolrestabes Surabaya.
Diawali kedatangan tentara Belanda dan dilanjutkan tentara Jepang. Pasukan Indonesia berhasil merebut gedung di Jalan Sikatan ini setelah menaklukkan tentara Jepang.
Dody memang tidak pernah mendalami dalang. Bakat ini muncul sejak Dody bergabung di sanggar tari di Tulungagung. Saat itu Dody masih duduk di bangku SMP. Di sanggar inilah Dody mengasah dalang, tari, dan sebagainya.
Meskipun mahir menjadi dalang, Dody enggan dinilai profesional. Dia menganggap dalang hanya sebagai hobi. Makanya Dody tidak pernah menerima job dalang komersial. Dody lebih sering tampil pada moment tertentu, terutama event di Kepolisian.
“Setahun belum tentu tampil. Kadang dua tahun, hanya sekali,” tambahnya.
Perwira kelahiran 8 Oktober 1964 ini mengakui bahasa wayang memang khas, dan berbeda dengan Bahasa Jawa kaum awam. Agar kemampuan bahasa perwayangan ini tidak hilang, Dody sering menggunakannya dalam ceramah.
Menurutnya, tidak semua pendengar ceramah memahami ungkapan bahasa suluk-nya. Agar pendengarnya paham ungkapan suluk-nya, Dody selalu menerjemahkan kedalam Bahasa Jawa Ngoko atau Bahasa Indonesia.
Dody juga memberi penjelasan maksud ungkapan suluk-nya.
Dody termasuk perwira yang serba bisa. Saat Polrestabes me-launching Srikandi Polwan beberapa waktu lalu, Dody juga menyumbangkan lagu Bahasa Tionghoa.
Dia membantah bernyanyi asal-asalan meskipun hanya sedikit, Dody mengaku bisa Bahasa Tionghoa. Kecintaannya pada Bahasa Tionghoa bermula saat dinas di Tuban. Saat itu dia memiliki pacar seorang keturunan Tionghoa. “Kalau nyanyiannya, saya memang belajar dari kaset,” ungkapnya sambil tertawa.