Laporan Wartawan Tribun Jateng, Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Air mata Kristin terurai deras di kaca penutup peti jenasah Pendeta Petrus Agung Purnomo. Telapak tangan kirinya pun tampak beberapa kali mengetuk kaca itu.
"Bangkit pak, ayo bangun dari tidur pak Petrus," ucapnya Kristin lirih.
Sayang, ucapan Kristin seakan tak didengar Pendeta Petrus. Tubuh pendiri JKI Injil Kerajaan Semarang itu masih kaku, berkain jubah ungu.
Kristin masih tak percaya, Pendeta Petrus sudah tiada. Ia tetap meyakini kalau sang Gembala masih berjuang hidup.
Jemaat JKI Injil Kerajaan Semarang itu akhirnya menjauhi peti jenasah, setelah seorang pria memeluk tubuh Kristin, sambil berjalan mundur.
Mereka pun duduk di bangku gereja, yang semakin sepi ditinggalkan pelayat.
"Saya hanya jemaat Pak Petrus. Bukan sauadara, maupun teman. Pak Petrus pendeta terbaik yang saya tahu, beliau sempurna," ucap Kristin usai ditenangkan beberapa perempuan setengah baya, berseragam batik merah muda.
Bersuara serak, Kristin membagi kesaksiannya. Menurutnya, Pendeta Petrus lah yang menyadarkan Kristin dari kebimbangan hidup.
Mulai tentang problema keluarga, hingga keyakinannya Kristin soal iman.
"Beliau pernah menyatakan firman Tuhan yang begitu menyentuh hati saya. Firman itu lah yang menyadarkan segala risau hati saya," kenangnya.
Sebelum beranjak pergi, Kristin sempat meniup kencang-kencang sangkakalanya.
Ada tiga kali tiupan sangkakala. Lalu Kristin pun merapatkan kedua tangannya dalam posisi berdoa.