TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendukung program desa ekologi yang dicanangkan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Desa ekologi yang dimaksudkan, berorientasi pada pemeliharaan ekologi dan lingkungan perdesaan. Yang akan menjadi salah satu jawaban akan kerusakan lingkungan yang kian merajelala akhir-akhir ini.
"Kami apresiasi Kemendesa PDTT membawa isu ekologi dan lingkungan perdesaan sebagai salah satu fokus pemberdayaan desa," ujar Direktur Eksekutif WALHI Abet Nego Tarigan di sela acara Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia ke-XII di Wisma Atlet, Jakabaring, Palembang, Senin (25/4).
"Isu lingkungan selama ini kerap diangkat namun sekedar hanya pemanis bibir semata," tambahnya.
Dijelaskan, saat ini berbagai isu lingkungan dan ekologis membutuhkan solusi kongkret.
Salah satunya terkait isu konflik agraria kawasan perdesaan dengan pemangku hutan dan tambang di berbagai wilayah di Indonesia.
Setidaknya, ada 33 ribu wilayah perdesaan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan kawasan perizinan pertambangan.
"Selama ini dalam konflik kepentingan itu warga perdesaan selalu menjadi korban di mana eksploitasi kawasan hutan dan perizinan pertambangan bermuara pada kerusakan lingkungan yang membuat warga desa tersingkir," ujarnya.
Keberadaan desa ekologi, diharapkan, akan menjelaskan posisi hukum akan hak tanah ulayat milik desa.
Kesadaran dan pengakuan atas tanah ulayat ini pada gilirannya akan membuat warga desa sadar hak mereka dan berusaha menjaga melestarikannya.
"Selain itu dengan program desa ekologis pemerintah melalui Kemendesa PDTT bisa ikut menjaga kesinambungan ekologis di wilayah perdesaan," lanjutnya.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Marwan Jafar, kemdian mengajak WALHI membantu penyelesaian konflik SDA (Sumber Daya Alam) di desa.
Sebagian besar penguasaan dan pemanfaatan wilayah kelola rakyat hingga saat ini bukan dilakukan oleh desa.
"Kemendes PDTT bisa menjadi konsolidator untuk menyelesaikan konflik antara desa dengan kawasan hutan ini. Harapannya WALHI dapat membantu kami untuk bisa secara bersama-sama menjawab tantangan ini," harapnya.
Menurutnya, konflik antara desa dengan kawasan hutan telah mempunyai kanal dalam kebijakan nasional. Hal tersebut dilakukan melalui mekanisme Perhutanan Sosial Hutan Desa, Hutan Rakyat serta Hutan Kemasyarakatan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sedangkan konflik antara Desa dengan korporasi perkebunan dan pertambangan menurutnya, belum ditemukan sistem yang efektif.
"Tantangan berikutnya adalah Mendorong kemungkinan payung hukum, untuk menghadirkan dan menguatkan konsekuensi hukum berbasis regulasi desa terhadap penjarahan SDA dan pengerusakan lingkungan," paparnya.