Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Kasus 13 TKW asal Bali mendapat perhatian khusus oleh pihak LBH Bali dan organisasi Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Bali.
Hal ini menyangkut persoalan perlindungan ketenagakerjaan itu sendiri.
Anggota Seruni, Retno Dewi menyatakan, persoalan utama yang harus dibahas ialah menyangkut UU 39 Tahun 2004, yang mengatur tentang perlindungan satu pintu.
Sebab, banyak diketahui, persoalan utama dalam kasus ketenaga kerjaan ialah perlindungan itu sendiri.
Apalagi, dewasa ini, banyak agen-agen atau calo yang memberangkatkan TKI tanpa adanya perlindungan yang jelas.
"Kasus 13 TKW ini diketahui dikarenakan pengurusan visa itu dilakukan di Malaysia. Padahal kan tidak boleh," katanya, Sabtu (30/4/2016).
Dalam UU itu sendiri, untuk perlindungan satu pintu menggunakan jalur PJTKI.
Hanya saja, PJTKI sendiri merupakan lembaga swasta dan bukan dari pemerintah.
Dan diakuinya, jika menggunakan pihak swasta, maka tidak dipungkiri akan ada biaya dari luar biaya struktur yang ada.
"Ada pembisnisan di situ. Itulah kenapa dari teman-teman buruh Migran mengenai UU itu meminta untuk dicabut," ungkapnya.
Selain alasan pihak Swasta, PJTKI juga hingga saat ini jika diketahui bermasalah tidak dikenakan sanksi yang berat.
Alias hanya dikenakan sanksi administratif. Kemudian, kalau ditutup pun, akan buka lagi dengan nama beda namun agensinya tetap sama.
Karena persoalan visa seperti kasus 13 TKW ini, sambung dia, bisa jadi bukan hanya menimpa 13 TKW saja.
Tapi masih banyak yang lainnya. Pemerintah harus memberitahu siapa yang memang diberikan mandat untuk mengurusi soal ketenagakerjaan.
Dan yang paling penting ialah UU itu sendiri harus pro terhadap tenaga kerja, dan tidak menyebabkan TKI/TKW selalu yang menjadi korbannya.
"Yang jadi korban pasti TKW. Bukan sanksi ke agen,calo atau pihak-pihak yang menyalurkan lainnya," tukasnya. (*)