TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Sebagai satu bangsa, Indonesia terlampau banyak mengalami luka batin.
Luka itu tergoreskan saat Indonesia dalam perjalanan menuju kemerdekaan sebagai bangsa yang satu dan utuh.
Hanya ironisnya, ketika sudah merdeka, luka batin itu bukannya sembuh tetapi malah bertambah.
Ada luka lama yang dikorek kembali, ada luka yang tidak sembuh-sembuh dan ada luka yang baru.
Dalam konteks inilah, Indonesia harus menyembuhkan luka-lukanya sendiri melalui rekonsiliasi tanpa syarat untuk dapat kemudian menjadi bangsa yang besar dan kuat menghadapi segala tantangan jaman.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), AM Putut Prabantoro kepada redaksi Tribunnews.com, Rabu (18/5/2016).
Pernyataannya itu terkait dengan rencana diadakannya Seminar Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Pasca Sarjana Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (20/5/2016).
Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Pusat Riset Sosial (SOREC) Departemen Sosiologi, Fisipol, UGM dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Seminar bertajuk “Rekonsiliasi Itu Ada Di Hati Bangsa Ini” menghadirkan beberapa pembicara; mantan WaKASAD dan Ketua Jati Diri Bangsa, Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri -- Dosen ISI Yogyakarta & Pengasuh PONPES Mambaul Ulum Sumenep DR. Miftahul Munir -- Kepala SOREC UGM Lambang Trijono Drs, MA, PhD (cand) --- Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta DR. G. Sri Nurhartanto SH dan dipandu oleh Clemon “Emo” Lilik HS (Wartawan).
Dijelaskannya, luka-luka batin itu jika dibiarkan tak tersembuhkan akan menjadi dendam tiada berkesudahan dan menjadi duri serta ancaman dalam tubuh NKRI.
Luka-luka batin itu muncul karena akibat konflik tak terselesaikan
“Komunisme itu hanya salah satu luka batin yang ada dalam bangsa Indonesia yang sebenarnya terjadi tidak hanya pasca 1965 tetapi juga sebelum 1965."
"Ada luka batin di beberapa kota seperti Sampang, Talangsari, Semanggi, Madiun, Tri Sakti, Sampit, Kalianda, Cieukesik, Poso, Ambon, Sambas, Halmahera dll."
"Apakah tidak perlu diselesaikan ? Luka-luka batin itu harus disembuhkan dan obatnya bernama Rekonsiliasi” ujar Putut Prabantoro.
Rekonsiliasi, menurut Putut yang juga Konsultan Komunikasi Publik itu, tidak hanya untuk menyembuhkan luka batin yang terjadi pascakemerdekaan, tetapi juga untuk prakemerdekaan dan bahkan jauh sebelumnya.
Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), kisah Putut, telah memulai langkah Rekonsiliasi Indonesia pada tahun 2008 melalui pertemuan budaya di Bandung dengan thema “Saudara, Sebangsa Dan Setanah Air”.
Rekonsiliasi budaya itu menghadirkan Sri Sultan Hamengku Buwono X (Keturunan Majapahit) dan Ayi Rosidi (Budayawan Pasundan) merujuk pada terjadinya Perang Bubat pada tahun 1357.
Menurut Ayip Rosidi seperti yang dikutip Putut Prabantoro, rekonsiliasi (budaya) itu sangat relevan karena jejak permusuhan antara Jawa dan Sunda sangat terlihat hingga sekarang.
Hal ini terbukti adanya mitos pelarangan pernikahan antara perempuan Sunda dan pria Jawa atau tidak ada Raja Majapahit yang dibadikan sebagai nama Jalan.
Dan bahkan oleh Ayip Rosidi dikatakan ada 50 lagu anak-anak Sunda yang isinya permusuhan dengan Jawa.
“Permusuhan dan dendam itu teryata diwariskan dan menjadi nilai-nilai sakral yang tidak boleh dilanggar. "
"Rasa permusuhan dan dendam itulah yang karena tidak terselesaikan kemudian menjadi luka-luka batin bangsa Indonesia."
"Siapakah yang bertanggung jawab kemudian? Pemerintah, negara, rejim atau alat penegak hukum dan kekuasan ?” Urai Putut Prabantoro.
Rekonsiliasi bagi bangsa Indonesia, tandasnya lagi, adalah obat ampuh tiada duanya untuk luka batin bangsa.
Luka batin itu yang terjadi di masa lampau di mana para pelaku sejarahnya sudah tiada dan sementara generasi sekarang tidak mampu menyelesaikan akan membuat bangsa Indonesia senantiasa berjalan tertatih-tatih serta tak mampu menghadapi tantangan jaman.
Rekonsiliasi itu juga merupakan “obat” komitmen bersama bangsa Indonesia untuk mencegah tidak terulang kembali peristiwa tersebut.(*)