TRIBUNNEWS.COM, PROBOLINGGO - Masih teringat jelas, suasana penggerebekan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, 22 September lalu.
Ribuan polisi bersenjata lengkap dan mengenakan rompi anti-peluru turun dari truk polisi.
Kendaraan barakuda, mobil taktis, dan water canon disiagakan.
Saat itu, para santri sempat berupaya mencegah polisi menangkap pimpinan mereka.
Beberapa saat kemudian, polisi keluar membawa Taat Pribadi, pimpinan padepokan, yang akhirnya ditemukan di sekitar masjid padepokan.
Keesokan harinya, para santri sempat menghalangi pembongkaran portal oleh polisi.
Pasca-penangkapan, sekitar 242 santri bertahan di padepokan beralas dan beratap terpal dengan bambu menjadi tiangnya.
Panas dan hujan tak membuat mereka beranjak dari padepokan. Macam-macam alasan mereka.
“Saya serahkan uang Rp 10 juta. Saya ikhlas, uang saya digunakan padepokan untuk kebaikan. Anggap saja amal jariyah saja. Saya tidak menuntut uang kembali,” katanya.
Seorang santri lainnya asal Jawa Barat malah mengaku hanya ingin ibadah dan menghabiskan waktu luangnya di padepokan.
Dia mengaku dengan berada di padepokan, hidupnya lebih tenang dan bisa mengamalkan kebaikan melalui uang yang dia sumbangkankan ke Padepokan.
“Tak ada mahar. Saya ikhlas sedekah, supaya bisa digunakan Maha Guru untuk sosial,” ujar mantan pegawai BUMN ini.
Sementara itu, santri asal Lampung mengaku terpaksa tinggal di tenda Padepokan karena sudah kehabisan bekal untuk pulang.
“Kami makan seadanya. Kami masih menunggu kiriman dari saudara agar bisa pulang,” ujarnya.