Selama mendapatkan jatah dari padepokan, ia tidak bisa memilih menu makanan.
“Saya biasanya tergantung dengan kakak, dan ayah sih, hari ini mau masak apa, nanti saya yang belanja,” ujarnya sembari menggoreng peyek teri.
Dalam sehari, kata YN, belanja untuk tiga orang keluarganya tidak menghabiskan uang lebih dari Rp 50.000. Di padepokan ini, ia tinggal bersama kakak pertamanya, dan ayahnya.
Ia mengaku sudah tiga bulan menetap dan tinggal di padepokan ini.
“Kalau beras kan sudah ada, saya bawa dari Bali. Persediaan saya cukup sampai beberapa bulan depan. Di tenda ini, saya sudah simpan beras 70 kilogram,” terangnya.
Perempuan yang memiliki usaha berjualan mukena bali ini menjelaskan, selama di padepokan hidupnya terasa nyaman dan tentram. Ia tidak merasa kelaparan atau pun kekurangan uang.
Bahkan, ia mengaku rezeki yang didapatkannya itu lebih banyak di padepokan ini.
“Disini saya itu tenang sekali, saya bisa memperdalam ilmu agama,” ujarnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).
Ketenangan itulah yang menjadi alasan YN untuk tetap bertahan di padepokan. Ia mengatakan, tidak ada paksaan atau aturan yang mewajibkan pengikut di padepokan ini tinggal di padepokan.
Sewaktu – waktu pulang pun tidak ada yang melarang.
“Toh, kata yang mulia (sapaan Taat Pribadi di Padepokan) tanah ini milik santri. Siapa yang mau tinggal dipersilahkan, yang mulia tidak melarang. Justru yang mulia yang akan pergi, kalau semisal tempatnya tidak cukup untuk tinggal santri,” terangnya.
Ia mengaku sebenarnya, bukan persoalan biaya atau hal lain yang membuatnya tetap bertahan di padepokan.
Namun, ia merasakan ketentraman hati, pikiran dan jiwa saat ada di padepokan ini.
“Di sini, saya diajarkan arti keikhlasan, kesabaran, tawadlu, dan masih banyak lagi. Dari sinilah, saya belajar banyak tentang pengetahuan agama,” ungkapnya.