TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Sudah empat bulan ini Siti Sobariah (36) bersama keempat anaknya tidak lagi mendapat nafkah dari sang suami, Suminta (37), yang ikut bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, di Probolinggo, Jawa Timur.
Warga Kampung Cilubang, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, ini pun akhirnya mengandalkan biaya hidup sehari-hari dari bantuan saudara-saudaranya.
Dua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP juga terpaksa putus sekolah karena tidak punya biaya lagi.
Siti menceritakan, suaminya sudah ikut bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng selama lebih dari dua tahun.
Selama itu pula, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Bogor.
Namun, kata Siti, baru empat bulan belakangan ini sang suami sudah tidak pulang-pulang.
"Dia (suami) ikut padepokan sudah lama, lebih dari dua tahun. Biasanya kalau ke sana cuman seminggu terus pulang lagi. Tapi sekarang sudah empat bulan terakhir ini enggak pulang," kata Siti saat ditemui Kompas.com, di rumahnya, Kamis (13/10/2016).
Siti melanjutkan, awalnya keluarga sudah pernah menjemput Suminta di Padepokan Dimas Kanjeng agar segera pulang.
Namun, Suminta menolak untuk pulang karena yakin ia akan mendapat uang berlipat ganda.
"Suami saya enggak mau pulang. Bilangnya nunggu pencairan dari Kanjeng Dimas dulu," ucap Siti.
Hingga Siti melahirkan anak keempat, Suminta juga tak pulang.
Selain harus menanggung seluruh biaya persalinan sendiri, Siti juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keempat anaknya.
"Makan segala macem ngandelin keluarga. Boro-boro dia ngasih buat anak istri, buat dia sendiri disana juga susah," ungkapnya.
Bergabungnya Suminta ke Padepokan Dimas Kanjeng pun membuat hubungan rumah tangganya mengalami kerenggangan.
Faktor ekonomi menjadi penyebabnya.
Kala itu, Siti tidak menyetujui suaminya ikut bergabung padepokan karena harus mengeluarkan uang tak sedikit hanya untuk membeli mahar.
Selain itu, sering mengabaikan kepentingan keluarga.
"Uang habis enggak jelas. Di situ jadi sering ribut," ungkap dia.
Karena kesal, dia mengaku, menjual perhiasan berupa batu cincin, jam rolex, dan sejumlah uang kertas berupa uang ringgit dan dolar Singapura.
Barang-barang tersebut merupakan mahar dari pedepokan tersebut.
"Sebelum dijual, perhiasan itu sempet saya cek ternyata palsu. Tapi masih laku juga dijual," tuturnya.
Sementara itu, orangtua Suminta, Tyarman (76) mengaku, sejak anaknya ikut bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, harta bendanya habis terkuras.
Bahkan, diam-diam Suminta memakai uang perusahaan di tempatnya bekerja hanya untuk membeli mahar dan menggandakan uang itu.
"Oleh perusahaannya ketahuan, akhirnya sertifikat tanah diambil perusahaan buat jaminan. Kalau dihitung-hitung ada puluhan juta," papar Tyarman.
Dia mengaku, sudah sering mengingatkan Suminta agar tidak mempercayai aliran tersebut.
Apalagi sudah jelas, sejak Suminta bergabung, kehidupan rumah tangganya makin kacau.
"Sering ribut, anak istri ditelantarin. Sampai istrinya lahir pun dia tidak pulang," ungkapnya.
Hingga kini, meski Dimas Kanjeng Taat Pribadi sudah ditangkap polisi karena dugaan penipuan, Suminta tetap bersikukuh memilih bertahan tinggal di padepokan itu di tenda.
"Rencananya saya sama dari pihak kelurahan akan jemput dia pulang," pungkas Tyarman.
KOMPAS.com/Kontributor Bogor, Ramdhan Triyadi Bempah