Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Sidang pembacaan tuntutan terhadap Deddy Sugarda (58), terdakwa pembakaran aula Kejaksaan Tinggi Jabar berlangsung 30 menit.
Jaksa penuntut umum menjatuhkan tuntutan pidana penjara selama delapan tahun kepada Deddy lantaran dianggap melanggar pasal 187 ayat 1 KUHP.
Sidang akan dilanjutkan pada pekan depan untuk agenda pembacaan nota pembelaan terdakwa. Rencananya Deddy akan membaca nota pembelaan secara lisan.
"Ini bukti mereka (jaksa) merasa terganggu dengan keberadaan saya. Karena saya selama ini mengusik oknum jaksa korup," kata Deddy saat digiring ke mobil tahanan usai sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (13/12/2016).
Deddy tak terima dengan tuntutan jaksa yang dibilang terlalu berat ketimbang hukuman untuk para koruptor.
"Inilah Indonesia, kalau tidak disukai pasti dihilangkan," kata Deddy.
Kendati begitu, Deddy tidak takut dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Sebab ia yakin dakwaan jaksa tidak sesuai dengan kenyataan.
"Saya rela ditembak mati, saya tidak takut dengan hukuman," kata Deddy.
Deddy menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Ia menjadi terdakwa tunggal pada kasus pembakaran aula kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar pada Juni lalu.
Pria yang pernah dipenjara lantaran membacok jaksa itu mendengarkan tuntutan jaksa penutut umum (JPU) yang dibacakan Taupik Hidayat di ruang III PN Bandung, Selasa (13/12/2016).
Ia didampingi seorang penasehat hukumnya, yakni Krisna Wardana di hadapan Lia Hendry Sibaran, Ambo Masse, dan Ruddy Martinus, selaku majelis hakim.
"Kami selaku JPU berkesimpulan terdakwa telah sah dan meyakinkan menimbulkan kebakaran dan menimbulkan baha umum bagi barang," kata Taupik.
Taupik mengatakan, Deddy melanggar dakwaan primer, yaitu pasal 187 ayat 1 KUHPidana. Dengan begitu, kata dia, dakwaan subsider tidak perlu dibuktikan lagi dalam persidangan.
"Agar majelis hakim PN Bandung memvonis Deddy dengan hukuman penjara selama delapan tahun," kata Taupik.