“Di Kabupaten Blitar sudah ada dua kasus OTT terhadap kades dalam pengurusan tanah. Yakni di Desa Soso dan Pojok,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua AKD Kabupaten Banyuwangi, Murai Ahmad, mengatakan program prona sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat, karena murah. Program itu memang untuk rakyat.
Tapi, uang negara untuk program prona yang menerima BPN, bukan desa. Uang negara yang diberikan ke BPN itu hanya untuk menggratiskan penerbitan sertifikat.
Padahal, masih ada biaya yang harus ditanggung pemohon. Misalnya, biaya materai, pengetikan berkas, dan patok. Pemohon harus beli sendiri.
Desa tidak mungkin menanggung biaya itu, karena tidak ada anggaran. Biaya yang dibebankan ke pomohon ini belum ada aturannya.
Biasanya, penentuan besaran biaya berdasarkan kesepakatan bersama antara pemohon dan kelompok masyarakat (Pokmas) sebagai koordinator.
Besaran biaya yang ditanggung pemohon tiap desa dan daerah berbeda tergatung kondisi geografi dan topografinya.
Di Banyuwangi kondisi wilayahnya ada yang pegunungan dan dataran.
Biasanya biaya yang ditanggung pemohon di wilayah pegunungan lebih besar dibanding di daerah datar. Kisaran biaya yang ditanggung pemohon antara Rp 500.000 sampai Rp 600.000.
“Siapa yang mau naik turun gunung bawa patok tidak diberi upah. Kadang itu tidak sehari selesai. Proses ini yang tidak pernah dilihat pemerintah. Pokmas juga manusia, butuh makan dan minum,” kata Kepala Desa Gumirih itu.
Dikatakannya, harga patok di tiap daerah juga berbeda. Misalnya, di Banyuwangi harga patok hanya Rp 10.000.
Pemohon butuh empat patok untuk pengukuran tanah. Berarti, pemohon mengeluarkan biaya Rp 40.000 untuk empat patok.
Tetapi, di Lamongan harga patok Rp 25.000 per biji. Jika butuh empat patok, maka pemohon mengeluarkan uang Rp 100.000.
“Kalau ingin warga tidak dibebani biaya, seharusnya ada anggaran untuk proses itu dari pemerintah,” ujarnya.