TRIBUNNEWS.COM, PURWAKARTA - Seorang gadis belia asal Kabupaten Purwakarta berinisial Ek (17) diduga jadi korban trafficking.
Dia dibujuk tetangga untuk bekerja di salon kecantikan pada awal tahun lalu.
Namun belakangan, Ek dipekerjakan sebagai terapis di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bandung sejak Januari hingga Maret.
“Saya diajak tetangga. Katanya kerja di salon, tapi kerja jadi tukang pijat laki-laki di Bandung,” ujar Ek di Purwakarta, Rabu (29/3/2017).
Saat tahu dipekerjakan sebagai terapis, dia diminta training memijat selama dua pekan.
Dia langsung minta pulang karena tidak ingin jadi terapis.
“Sudah minta pulang, tapi tidak boleh. Terpaksa saya jalani dulu,” katanya.
Setelah menjalani, keinginannya untuk pulang tidak terbendung.
Akhirnya dia minta izin pulang dengan menyebut ibunya, Eutik (50) sakit. Akhirnya EK boleh pulang.
“Tapi hanya diberi izin tiga hari. Kalau tidak kembali, diminta membayar sebesar Rp 20 juta. Di kontrak yang ditandatangani memang ada seperti itu. Saat tanda tangan, saya tidak punya pilihan untuk tidak menandatangani,” imbuhnya.
Sebagai terapis, dia diupah Rp 1,6 juta namun, dia hanya menerima sebesar Rp 850.000.
“Sisanya untuk mess dan tabungan setelah keluar dari sini. Harusnya hari ini pulang lagi. Orang yang mengajak saya kerja di sana malah menelepon terus. Tetapi saya tidak mau pulang lagi,” katanya.
Dalam UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak, anak yang menjadi korban tindak pidana adalah yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi.
Sedangkan dalam UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan UU 35/2015 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak di dalam kandungan.
“Saya lahir tahun 2000. Setiba di Bandung, saya dibuatkan KTP baru dengan kelahiran tahun 1998 atau berusia 19 tahun,” katanya.
Eutik ibunya yang mendampingi Ek saat diwawancarai mengaku sudah melaporkan kasus ini ke Polres Purwakarta.
“Sudah laporan ke polisi,” katanya.