TRIBUNNEWS.COM, LUBUKLINGGAU -- Divisi Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) R Arif Nur Fikri menilai, ada kesalahan dilakukan pihak kepolisian terkait peristiwa penembakan oleh oknum polisi terhadap satu kekuarga dalam mobil Honda City BG1488ON.
Pihak kepolisian tidak langsung memberi informasi kepada pihak keluarga terkait peristiwa penembakan yang terjadi.
Hal ini dikatakannya saat konperensi pera di Hotel Hakmaz Taba Kota Lubuklinggau, Jumat (28/4/2017).
"Ada beberapa fakta dari hasil kronologis yang kita gali. Pertama, informasi terkait peristiwa penembakan yang diterima kelurga dari salah satu korban."
"Ada kesalahan dilakukan pihak kepolisian, yang tidak langsung memberi informasi pada pihak keluarga terkait peristiwa penembakan yang terjadi," katanya.
Fakta kedua menurutnya, dari hasil penggalian informasi yang dilakukan Kontras terhadap korban, penembakan terjadi setelah mobil berhenti.
Ia kemudian menanyakan kembali kepada korban apakah ada jeda antara tembakan peringatan dengan tembakan selanjutnya.
Dan berdasarkan keterangan korban rentang waktunya tidak terlalu jauh. Padahal, dalam Peraturan Nomor 1 tahun 2009 soal penggunaan senjata api, penembakan terhadap objek harus dilakukan dalam jeda waktu beberapa saat dari tembakan peringatan yang dilakukan.
Fakta ketiga yang menurut Arif juga janggal, terkait jarak lokasi razia dengan penembakan yang mencapai tujuh kilometer.
Ia memertanyakan, upaya apa saja yang sudah dilakukan pihak kepolisian dalam rentang jarak ini.
Kontras mengharapkan, dalam penanganan kasus penembakan ini, pihak kepolisian tidak hanya membebankan kepada pelaku tunggal.
Dalam proses penyelidikan menurutnya, juga harus digali informasi, apakah ada perintah untuk melakukan penembakan yang diterima pelaku dari atasannya.
Selain itu, ia juga meminta pihak kepolisian mengesampingkan unsur kelalaian dan harus digali adakah unsur kesengajaan dalam kasus tersebut.
"Harus digali apakah ada unsur kesengajaan. Karena mobil yang ditembaki itu sudah berhenti sebelum polisi melakukan tembakan," katanya.
Dikatakan, berdasarkan data yang dihimpun Kontras terkait pemantauan kasus penembakan yang dilakukan polisi sejak awal tahun 2017 hingga Maret 2017, tercatat 124 kasus penanggulangan kriminal menggunakan senjata api yang dilakukan polisi di seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak terjadi di Pulau Sumatera dan Sulawesi. Dimana, 97 orang mengalami luka-luka dan 76 diantaranya meninggal dunia, akibat penembakan yang dilakukan polisi.
"Jadi kasus seperti ini bukan baru satu dua kali terjadi. Polisi harus melakukan evaluasi berkala. Harus diaudit penggunaan senjata apinya. Jangan polisi diberikan senjata api, tetapi dipakai secara sewenang-wenang," ungkapnya.
Terkait kasus penembakan di Lubuklinggau, ia sangat mengharapkan, harus diselesaikan secara transparan dan akuntabel.
Menurutnya, sejak peristiwa penembakan terjadi, pihak kepolisian cukup terbuka dengan mendatangi keluarga korban hingga memberikan santunan.
"Bisakah polisi terbuka dalam penyelesaian kasus ini. Ada jaminan tidak dalam waktu dua sampai tiga bulan akan tetap terbuka."
"Karena saya tanya ke kuasa hukum korban apakah kepolisian sudah memberikan SP2HP atau belum, kuasa hukum dan keluarga korban mengaku belum ada. Padahal SP2HP itu kunci sudah sampai dimana penyelidikan dilakukan," katanya.