TRIBUNNEWS.COM, MAMALA - Rangkain Hari Raya Idul Fitri seakan tak ada habisnya. Di beberapa daerah di Indonesia, hari ke-7 Idul Fitri dirayakan dengan berbagai tradisi.
Ada Tradisi Perang Topat di Nusa Tenggara Barat, Tradisi Meriam Karbit di Pontianak, Tradisi Grebeg Syawal di Yogyakarta dan Tradisi Bakar Gunung Api dari Bengkulu. Tak terkecuali tadisi Budaya Atraksi Pukul Sapu Lidi di Negeri Mamala di Maluku.
“Inilah keragaman dan kebesaran Indonesia yang harus kita syukuri, jaga, rawat serta lestarikan,” kata Komarudin Watubun, Anggota DPR RI yang hadir pada acara Budaya Atraksi Pukul Sapu Lidi di Negeri Mamala, Minggu (2/7), tepat hari ke-7 Idul Fitri 1438 Hijriah.
Hadir juga dalam acara tersebut, Wakil Gubernur Maluku, Pangdam, dan Kakor Brimob Murad Ismail. Bertindak selaku tuan rumah, Bupati Maluku Tengah, Tuasikal Abua.
Traidisi ini dilakukan oleh para pemuda yang berasal dari desa Morela dan desa Mamala, Maluku Tengah. Mereka saling berhadapan dengan menggunakan lidi dari pohon enau.
Para pemuda ini akan saling menyerang dalam kurun waktu 30 menit. Seusai pertarungan, setiap pemuda mendapatkan pengobatan secara khusus dari desanya.
Pemuda yang berasal dari desa Morela akan memperoleh getah jarak sebagai obat penyembuh luka, sementara pemuda yang berasal dari desa Mamala menerima obat penyembuh luka yang terbuat dari minyak kelapa yang dicampur dengan pala dan cengkeh.
Sebagian pihak menilai khasiat minyak ini telah kesohor ke mana-mana, sehingga menarik minat para ilmuan dari dalam dan luar negeri untuk menelitinya.
“Sepintas tradisi membahayakan para anggotanya, namun tradisi ini justru bisa menjalin ikatan silaturahmi antara kedua desa dengan baik. Catatan lain dan penting dari peristiwa ini adalah, pembuktian tentang kekuatan doa dan restu dari para tetua kampung atas minyak-minyak tersebut," ungkap Komarudin Watubun yang juga menjadi kepala sekolah partai PDI Perjuangan bagi calon kepala daerah se Indonesia.
Untuk itu, tambah Komar, dari sisi budaya tradisi yang telah terbangun sejak abad ke-17 ini harus dijaga.
“Dari sisi masa depan, idealnya dikelola dengan baik, karena ini memiliki nilai jual budaya dan parawisata yang bisa mengundang wisatawan dari dalam dan luar negeri sehingga memberikan manfaat secara ekonomi bagi penduduk," tutur Bung Komar panggilan akrab Komarudin Watubun.
Ditambahkan oleh Bung Komar, ada tiga hal yang bisa dilihat dari tradisi ini. Pertama, aspek budaya yang harus dijaga, dibanggakan dan terus dilestarikan.
Kedua, aspek sosial yang memberikan pembelajaran tentang keutuhan dan persaudaraan antar semua elemen yang ada di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya. Dan yang ketiga, aspek ekonomi yang akan memberikan manfaat bagi industri pariwisata Maluku.
“Jika ini dikelola dengan baik, diselaraskan dengan event lainnya dan di dukung oleh infrastuktur yang memadai, tentu akan mendongkrak industri parawisata secara signifikan. Para wisatawan datang ke Maluku untuk waktu satu minggu, secara marathon mereka mengikuti dan menyaksikan beragam budaya dan parawisata Maluku. Konektivitas event ini menjadi penting sehingga harus dimanage dengan sebaik-baiknya, profesional dan modern” urai Bung Komar.