TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Seorang anggota komunitas Kerabat Keliling Jogja (KKJ) pekan lalu memposting foto sangat lawas, sebuah adegan di lingkungan dalam tembok Keraton Yogyakarta.
Siapa sangka ada kisah mengerikan di baliknya.
Foto itu konon diambil Kasian Cephas, fotografer pertama pribumi yang banyak mengabadikan momen-momen istimewa sebelum Indonesia merdeka.
Dalam foto itu tampak sejumlah orang duduk mengelilingi meja. Ada dua orang, entah abdi dalem atau rakyat jelata, bersimpuh di lantai.
Mereka yang duduk di kursi mengenakan kuluk, mengelilingi meja dikerumuni banyak orang.
Dari jenis dan cara berpakaiannya, tampak mereka itu dari golongan tinggi atau pejabat. Ada sepintas sosok warga asing di foto itu, dan sosok yang mengenakan atribut keagamaan.
Nah, di antara mereka yang duduk di kursi mengelilingi meja itu, satu sosok berkumis tampak garang memandang ke arah kamera.
Baca: Terungkap Alasan SA Melahirkan Sendiri hingga Menyimpan Bayinya di dalam Freezer
"Dia Mertolulut," kata Mada Karisma, peminat sejarah yang memposting foto itu, Selasa (2/8/2017).
Anda yakin dan buktinya apa?
"Saya yakin setelah melihat dan mendalami gestur sosok abdi dalem khusus raja Mataram itu lewat foto ini. Saya juga meyakininya berdasar indra keenam. Ini tidak ada dalam literatur sejarah manapun," katanya.
Dilihat dari foto tua itu, adegan itu diduga berlokasi di area pagelaran Keraton Yogyakarta saat masih menggunakan atap atau tratag anyaman daun.
Namun tiangnya sudah besi tempa/cor, yang masih bisa disaksikan keberadaannya di pagelaran hingga saat ini.
Siapakah Mertolulut?
Mertolulut adalah semacam gelar atau julukan untuk abdi dalem raja yang tugasnya mengeksekusi hukuman yang dijatuhkan pengadilan kerajaan.
Mertolulut sendiri berasal dari kata merto dan lulut.
Secara harafiah, Mertolulut artinya sabar menunggu kematian.
Sedangkan tempat tugasnya dinamai Pacikeran, berasal dari kata ciker atau potongan jari, sesuai keahlian mereka memotong jari maling, kecu, begal, bandit yang tertangkap.
Karena sejak Sri Sultan Hamengku Buwono l berkuasa di keraton yang sekarang ini, hukuman menggunakan prinsip-prinsip syariat Islam, maka jenis hukumannya pun terbilang ekstrem.
"Hukumannya macam-macam. Pencuri ya potong tangan, pembunuh dan kelas berat lain dipancung. Itu tugasnya Mertolulut dan Singonegoro," kata Daliman, abdi dalem sekaligus pemandu kawasan wisata Keraton Yogyakarta.
Mertolulut memang tidak sendirian bertugas. Ia ditemani abdi dalem Singonegoro, dengan pembagian tugas masing-masing secara bergantian.
Baca: Sebelum Tewas Gantung Diri, Imam Hamidi Sering Dengarkan Lagu tentang Kematian
Jika hukuman agak ringan seperti potong tangan dilakukan Singonegoro, eksekusi kelas berat seperti pancung dan gantung jadi tugas pokok Mertolulut.
Kedua abdi dalem khusus itu diberi tempat bertugas di Bangsal atau Bale Pacikeran. Letaknya persis di sisi kiri maupun kanan, depan pintu dan tangga menuju Sitihinggil dari arah Pagelaran.
Posisinya yang berada di antara Pagelaran dan Sitihinggil ini menunjukkan posisi dan perannya yang istimewa.
Lokasi tugas Mertolulut dan Singonegoro itu masih bisa disaksikan hingga hari ini.
Ada dua rumah kecil dilengkapi dua patung manusia mengenakan pakaian adat Jawa untuk golongan abdi dalem.
Kedua patung hampir seukuran manusia sungguhan itu mencitrakan sosok Mertolulut dan Singonegoro.
Satu berkumis agak bapang ini Mertolulut, satunya klimis itulah citra Singonegoro.
Setiap pemandu wisata yang bertugas akan mengajak para pengunjung yang dibimbingnya berhenti di lokasi ini, dan menceritakan pada mereka siapa Mertolulut dan Singonegoro, dua algojo kerajaan ini.
Sedangkan lokasi eksekusi menurut Daliman, dulu dilakukan di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Biasanya di antara dua pohon beringin yang ada di tengah lapangan luas itu.
"Kalau pengadilannya ya di Bangsal Ponconiti di Kemandungan Lor," imbuh Daliman.
Dinamai Ponconiti karena maknanya ponco itu lima, niti itu hal atau masalah.
Jadi umumnya ada lima hal atau perkara yang biasanya diselesaikan proses hukumnya di bangsal ini. Lima hal itu menyangkut pelanggaran mabuk, madat, madon, mencuri, dan membunuh.
Sesudah hukuman dijatuhkan pengadilan, Mertolulut dan Singonegoro dipanggil untuk mengeksekusi hukumannya atas perintah raja.
"Prosedurnya para algojo ini ya, terpidana ditutup wajahnya, kemudian eksekusi disaksikan banyak orang," ujar Mada Karisma menggambarkan proses eksekusi pada masa silam.
Kadang terhukum dipamerkan beberapa lama di ruang terbuka agar selain publik mengetahui, juga supaya efek takut dan patuh terbangun sesudahnya.
Supriyanto, pemandu turis yang biasa bertugas di Pagelaran dan Sitihinggil mengaku hapal dengan versi cerita sejarah Mertolulut dan Singonegoro.
"Ini potongan cerita yang wajib disampaikan ke turis sebelum naik Sitihinggil," katanya.
Postingan Mada Karisma di akun FB komunitas KKJ memantik rasa ingin tahu sejumlah warganet.
Baca: Kekayaan Dokter Katsuya Takasu Dihabiskan untuk Membantu Orang Susah di Jepang dan Luar Negeri
Sebagian takjub atas cerita singkat itu dan ingin mendapatkan kisahnya lebih lengkap.
Ada juga yang menginformasikan, para algojo yang dijuluki Mertolulut dan Singonegoro itu dulu ditempatkan di wilayah khusus bersama keluarganya di luar tembok keraton.
Sekarang jejak Mertolulut memang diyakini masih terangkai dengan keberadaan Kampung Mertolulutan di Kecamatan Ngampilan. Warga sekitar umumnya menyebut Kampung Merto saja.
Kampung Mertolulutan ini terletak dekat sentra Bakpia Pathuk.
Di utara berbatasan dengan Kampung Notoyudan dan Sanggrahan. Di barat ada di sepanjang Jalan Letjen Suprapto mulai pertigaan Pathuk ke utara.
Warga kampung padat ini sudah tidak banyak tahu kisah sejarah Mertolulutan. Namun cerita turun temurun hanya menyebut kampung ini dihuni anak keturunan abdi dalem Mertolulut.
Sedangkan anak keturunan Singonegoro dan lokasi tempat tinggalnya belum diketahui pasti hingga kini. Tugas kedua abdi dalem ini diakhiri pada tahun 1926 di era Sri Sultan HB VIII.
Kuatnya pengaruh kolonial Belanda membuat sistem hukum berdasar Syariat Islam perlahan memudar.
Tugas sang algojo pun selesai, dan sejak itu kisah seram Mertolulut dan Singonegoro berangsur hilang dari sejarah baru Mataram.
Kisah Mertolulut dan sepotong foto lawas yang dimunculkan warganet ini belum berakhir.
Misterinya masih menyisakan banyak tanya, terutama foto-foto pelaksanaan hukuman kejam pada masa lampau di Mataram yang belum pernah diekpose. (Tribunjogja.com/setya krisna sumargo)