TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - "Setiap sehabis salat, saya selalu berdoa agar diberikan umur panjang dan kesehatan agar bisa terus merawat Melati (nama samaran--red)," kata Sri, bukan nama sebenarnya, Sabtu (2/9/2017) siang.
Wanita 47 tahun ini tak bisa membendung derai air matanya manakala menceritakan cucu tercintanya, Melati, karena harus menerima cobaan hidup yang begitu getirnya.
Balita mungil ini harus menanggung penyakit human immunodeficiency virus (HIV) di usianya yang baru menginjak lima tahun.
Kondisi demikian mengharuskannya menjalani aktivitas keseharian yang berbeda dengan balita seusianya.
Tubuhnya kurus kering kerontang, lemas, hampir tak ada daging di tubuhnya.
Baca: Bertengkar Hebat, Istri Muda Nekat Bacok Istri Tua hingga Tewas, Ini Kronologi Lengkapnya!
Kulitnya menghitam, gigi atasnya tanggal, sementara barisan gigi bawah berjejer tak beraturan.
Sehari-harinya dia hanya bisa duduk dan tiduran di atas alas tidur.
Dengan berat badan yang hanya 6,6 kilogram, mau berjalan ataupun merangkak pun tak akan mampu.
Kala lapar dan haus dia hanya bisa menangis dan menangis. Melati bisa mengucapkan sepatah kata "Mak.. mik.." namun tak begitu jelas.
Untuk makan dan minum saja, dia harus dibantu dengan selang NGT yang dipasang di pipi menuju ke saluran hidung.
Ini dilakukan karena balita mungil ini tak mampu mengunyah makanan yang disuapkan kepadanya.
Kondisi demikian tentu saja menimbulkan rasa iba bagi siapa saja yang menemui. Tidak cukup sampai di situ penderitaan Melati.
Balita yang lahir pada 19 Mei 2012 lalu ini tak dapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya.
Kedua orang tuanya telah tiada meninggalkan Melati seorang diri, akibat mengidap penyakit mematikan tersebut.
"Disaat baru umur 17 bulan sudah harus ditinggal ayahnya, akibat penyakit itu (HIV)," kata Sri saat ditemui Tribun Jogja.
"Kami sempat kaget karena kami baru tahu setelah dokter memberikan keterangan penyakit itu yang mengakhiri hidup ayah Melati," tambah Sri.
Mengetahui sang suami mengidap penyakit mematikan tersebut, ibu Melati sempat shock dan ketakutan.
Pasalnya, bila suaminya mengidap penyakit tersebut, otomatis dia dan buah hatinya dalam bahaya.
Apa yang ditakutkan ibu Melati benar adanya. Dokter mengeluarkan keterangan bahwa dia dan buah hatinya menuruni penyakit yang dibawa sang suami.
Setelah itu, hari demi hari kondisi ibu Melati semakin menurun.
Dari cerita Sri, putrinya terlihat begitu lemas. Sehari-harinya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur.
"Kondisinya lemas sekali, kami bawa ke rumah sakit waktu itu. Baru dua hari di rumah sakit, Allah sudah mengambilnya, tepat di saat Melati berumur 3 tahun," kenang Sri berlinang air mata.
Ibunya Tetap Kerja
Dari kacamata Sri, ibu Melati adalah seorang wanita pekerja keras. Meskipun divonis mengidap penyakit HIV, namun semangat hidupnya tetap membara.
HIV seolah bukan halangan untuk tetap membanting tulang. Ibu Melati tetap saja bekerja kesana kemari demi mencari sesuap nasi untuk Melati.
"Sudah saya bilangin, udah ibu aja yang kerja. Kamu di rumah saja ngurusin Melati. Dia tetap keukeuh kerja. Padahal gajinya sendiri hanya Rp 800 ribu," imbuh Sri.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu kondisi ibu Melati semakin memburuk.
Sri mengatakan, sebelum menemui ajalnya, ibu Melati punya sebuah keinginan untuk buah hatinya.
"Pas Melati mau ulang tahun, ibunya bilang sama saya "Buk, ulang tahune Melati digawe kepiye ya? (Buk, ulang tahunnya Melati dibuat seperti apa ya?) Saya jawab, mbok uwis rasah gedhen-gedhen (saya jawab, ya sudah ga usah besar-besaran). Dia kemudian nyuruh saya beli nasi ayam sepuluh bungkus untuk dibagi ke tetangga," terangnya.
Sepeninggal ibu Melati perayaan tersebut sempat kembali digelar saat Melati berumur empat tahun, namun saat ini sudah tak lagi dijalankan.
Pasalnya, kebutuhan hidup yang terus bertambah mengharuskan Sri berpeluh mendulang rupiah yang tak sedikit.
Untuk merawat Melati saja, setidaknya Sri mesti mengumpulkan uang yang tak sedikit. Dua minggu sekali selang untuk asupan makan Melati mesti diganti.
Satu kali ganti selang memakan biaya Rp 150 ribu, itu belum kebutuhan makan dan susu Melati, biaya untuk kontrol sebulan sekali, serta pembelian popok dan kebutuhan lainnya.
Sri yang berprofesi sebagai tukang pijat panggilan tentu kewalahan menanggung semua biaya tersebut.
Coba bayangkan, sekali memijat Sri tidak mematok tarif tetap.
"Sekali pijat kadang dapat Rp 20 ribu, paling banyak Rp 50 ribu," ujar Sri.