SLAMET Riyadi (26), seorang korban penyanderaan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kabupten Mimika, Papua, tak henti-hentinya bersyukur.
Ia bersama 42 warga asal Jawa Tengah tiba kembali di kampung halamannya, sekira pukul 19.20 WIB, Rabu (22/11/2017) kemarin.
Mereka diterbangkan dari Papua ke Bandara A Yani, Semarang menggunakan pesawat Sriwijaya Air.
Slamet menceritakan kepulangannya ini merupakan berkah, karena dia beserta ayah dan adiknya bisa kembali untuk sementara waktu ke kampung halamannya Desa Kedondong, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak.
"Alhamdulillah sudah bisa pulang untuk sementara waktu ini. Kalau nanti kondisi di sana sudah aman, pasti kami akan kembali lagi. Di sana merupakan tempat mata pencaharian kami," kata Slamet yang bekerja sebagai buruh tambang emas di lahan limbah PT Freeport Indonesia.
Baca: Jelang Olimpiade 2020 Polisi Jepang Tingkatkan Kemampuan Hadapi Serangan Dunia Maya
Ia juga mengisahkan selama proses penyanderaan didera ketakutan. Slamet dan korban lainnya tidak bisa keluar dari Desa Longsor, Tembagapura, Mimika.
"Saya sempat dikejar oleh seorang pelaku yang membawa laras panjang. Saya lari ke sungai, kemudian saya sembunyi di pembuangan kotoran manusia untuk beberapa waktu," jelasnya.
Namun kemudian Slamet tertangkap dan digabungkan bersama sandera lainnya, sesama warga asal Demak, Jateng.
"Saya beserta sandera lainnya hanya makan sekali sehari, itupun menggunakan nasi putih beserta garam. Mereka (pelaku) kebanyakan membawa senjata laras panjang dan senjata tajam, semisal kapak. Beberapa di antara kami juga ada yang dipukul menggunakan popor senjata api laras panjang," kata dia.
Baca: NasDem Minta Golkar Jaga Marwah dan Citra Parlemen
Lain lagi cerita Sadiman.
"Saya lega karena satu bulan berada di tempat penyanderaan," tuturnya.
Sadiman mengaku telah bekerja di Kabupaten Mimika selama bertahun-tahun.
Namun peristiwa penyanderaan membuatnya enggan kembali bekerja di Mimika.
"Saya trauma bekerja di sana," tuturnya.
Ngarjani (53), warga Rembang, juga mengaku lega bisa kembali ke kampung halamannya.
"Saya merasa plong setelah TNI secara sembunyi-sembunyi menyelamatkan kami. Kami dapat informasi, TNI telah merapat ke lokasi penyanderaan selama empat hari empat malam sebelum melakukan operasi pembebasan," tuturnya.
Selama menjadi sandera, ia tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga karena telepon selularnya dirampas penyandera.
Baca: 50 Pengemudi Becak Motor Peserta Kirab Budaya Resepsi Pernikahan Kahiyang Dinyatakan Sehat
"Semua harta kami disita. Apalagi telepon selular. Kalau tidak pintar-pintar menyimpan ya disita," jelasnya.
Menurutnya, para penyandera tersebut setiap sore sering memamerkan senjatanya.
"Kalau penganiayaan terhadap kami cuma satu. Kalau terhadap suku lain banyak," ucapnya.
Meski jadi korban penyanderaan, Ngarjani yang telah bekerja di Mimiki sejak 2013, tetap ingin kembali ke Papua.
"Kalau ada kesempatan saya masih mau bekerja di sana," katanya.
Ditanggung Pemerintah
Kepala Dinas Ketegakerjaan dan Perindustrian Demak, Eko Pringgolaksito mengatakan total warga yang dipulangkan pada Rabu malam itu berjumlah 43 orang.
Mereka terdiri dari 38 warga Desa Kedondong (Kecamatan Demak Kota), Desa Gebang (Kecamatan Bonang), dan Desa Melati (Kecamatan Mijen).
Sedang sisanya, 5 orang, berasal dari Rembang.
Total warga Jateng yang menjadi korban sandera di Mimika yaitu 54 orang, terdiri dari 43 warga Demak, 5 warga Rembang, 2 warga Pati, 1 warga Cilacap, dan 1 warga Pekalongan.
Mereka ada yang pulang menggunakan biaya pribadi. Namun ada juga yang memilih tetap tinggal di Mimika.
Tak Mau Pulang
Sebanyak 43 warga yang pulang Rabu malam biayanya ditanggung Pemerintah Kabupaten Demak.
Sedangkan biaya bus, tes kesehatan, dan juga ruang VVIP Bandara Ahmad Yani, semuanya ditanggung Pemerintah Provinsi Jateng.
"Kami ditugaskan menjemput warga kami yang ada di Mimika, Papua. Sebenarnya ada satu warga yang juga akan pulang, namun ia menolak. Orang itu bernama Kusdianto warga Kedondong, Demak Kota, Kabupaten Demak," jelas Eko.
Pria yang akrab disapa Kokok ini juga menambahkan secara fisik 43 warga Jateng ini dalam kondisi baik. Namun secara psikologis, butuh waktu untuk menanangkan diri.
"Mereka ini kan kerja secara perorangan. Mereka menyewa lahan seharga Rp 10 juta per bulan. Hasilnya paling sedikir Rp 15 juta per bulan. Mereka bisa hidup berkecukupan dari hasil di Papua itu," kata Kokok, didampingi oleh Kepala Kesbangpol Demak, Agus Herawan.
Perasaan lega disampaikan Kepala Kesbangpol Pemprov Jateng, Achamad Rofai.
"Kami mewakili Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu mengevakuasi warga kami ini," katanya.
Sebelum dipulangkan ke rumah masing-masing, warga dicek kesehatan lebih dulu di ruang VVIP Bandara A Yani, Semarang.
Kepala Disnakertrans Jateng, Wika Bintang, menyebut warga bisa mengikuti berbagai pelatihan agar mereka memiliki ketrampilan.
"Apabila mereka tetap memilih kembali ke Papua menjadi buruh tambang, kami tidak akan melarang," jelasnya. (tribunjateng/hei/rtp)