Terkait bagaimana kini mahasiswa dapat mematok harga dalam keahliannya memotret, menurut Edial, hal itu dibutuhkan menajemen dan kepercayaan diri yang tinggi.
"Sebenarnya tolok ukurnya banyak, misal berdasarkan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu foto, tingkat kesulitan, hingga waktu yang dibutuhkan. Kalau dia sulit untuk mematok berapa harga jasanya, berarti dia tidak mau melihat sekelilingnya," ungkap Edial lagi.
Ia melanjutkan, seorang fotografer harus tahu di level mana fotonya berada.
Maka dari itu, dia harus mengetahui permintaan pasar dan di level mana foto miliknya berada.
Tentunya penilaian itu didapat dengan cara melihat sekeliling dan membandingkan karya sendiri dengan yang lain.
Yang jadi masalah, ulasnya, adalah dikotomi masyarakat yang kini justru menyamaratakan profesi fotografer.
Kini tingkat apresiasi masyarakat ke foto jadi lebih kritis.
Maka dari sini, yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa bisa membangun brand image dan kepercayaan dari masyarakat, sehingga bisa bersaing dengan korporat, atau industri.
"Bila ini semua berjalan, maka proses kewirausahaan dari mahasiswa akan terbangun," tambahnya.(*)