Laporan Wartawan Tribun Jateng, Radlis
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Semarang, Dyah P, menuntut Nurul Huda pidana penjara enam tahun dan denda Rp 50 juta subsidaer kurungan tiga bulan.
Selain itu, jaksa Dyah juga menuntut Nurul Huda mengganti kerugian negara sebesar Rp 5 miliar.
Nurul Huda merupakan juru timbang Gudang Bulog Randu Garut Baru Semarang.
Baca: Beredar Foto Julianto Tio Bersama Istri
Agenda sidang selanjutnya yakni mendengarkan pledoi dari terdakwa pada Senin (12/2/2018) mendatang.
Kepada Tribun Jateng, Nurul Huda mengatakan dia hanya pegawai rendahan yang bekerja sesuai instruksi atasan. "Saya cuma ikuti perintah atasan," kata Nurul.
Menurut Nurul, yang membuat kerugian negara dan hilangnya beras sebanyak 600 ton di Gudang Bulog Randugarut akibat permainan GD fiktif oleh kepala gudang.
Permainan GD fiktif ini berjalan sejak tahun 2014 hingga 2017. "Jadi contoh, ada beras masuk. Dicatat 100 ton di administrasi tapi fisiknya yang masuk cuma 50 ton," katanya.
Untuk menutupi kekurangan beras itulah Nurul membuat ronggga di tengah tumpukan beras.
"Memang saya yang buat rongganya, tapi itu perintah atasan. Jaman Pak Hos dan Pak Budiawan," katanya.
Nurul yang bertugas sebagai juru timbang pun pernah tidak dipekerjakan sebagaimana fungsinya oleh atasannya. Nurul mengaku, seluruh administrasi penimbangan dilakukan oleh pegawai honorer.
"Jadi waktu itu saya tidak dipakai sama sekali, cuma kebagian tanda tangan saja. Yang atur semua kepala gudang," katanya.
Nurul menjelaskan, untuk satu tumpukan beras berisi 235 ton. Dalam satu gudang memuat 12 tumpukan.
"Jumlah gudang ada empat tapi yang berisi cuma dua," katanya.
Dalam satu tumpukan itu, kata Nurul, bisa memangkas 100 ton beras apabila dipasang rongga.
"Jadi bisa dihitung sendiri berapa jumlah yang hilang. Satu gudang isinya 12 tumpukan. Ada dua gudang yang terisi, tiap tumpukan dipasang rongga yang bisa memangkas sampai 100 ton," katanya.
Nurul juga menyebut GD fiktif ini tak bisa dipisahkan permainan antara kepala gudang dan mitra Bulog.
Menurutnya, untuk mengakalinya, kepala gudang dan mitra membuat Operasi Pasar Fiktif. OP fiktif ini, kata Nurul, juga kerap dilakukan oleh mitra agar beras yang sudah dibeli dari Bulog bisa dijual ke luar pulau dengan harga yang lebih mahal.
"OP itu kan harus dari pusat, dibuatlah seolah olah itu ada OP padahal tidak ada. Seperti kehadian di Pelabuhan Tanjungmas, itu biasa dilakukan oleh mitra," katanya.
Nurul juga mengaku praktik seperti ini lumrah dilakukan di Perum Bulog se Indonesia.
"Saya meyakini praktik seperti ini dilakukan se Indonesia. Sudah lumrah itu. Saya juga meminta kepada kejaksaan agar menyelidiki keterlibatan atasan saya. Sekelas juru timbang bisa mencuri beras sebanyak itu tanpa ketahuan bagaimana caranya? Justru saya membuat rongga itu karena perintah atasan," katanya.