“Kita harus terus menyadarkan mereka agar dapat melakukan PHBS dan perumahan bersih karena 80-90 persen anak-anak Asmat juga mengalami kecacingan,” urai Riechard merinci.
Anggota tim FHC Kemenkes dr. Lily Indriani Octovia, MT, M.Gizi, Sp.GK memastikan jumlah pasien anak gizi buruk yang dirawat di RSUD Agats berkurang. Dari sisi pemulihan, ia punya strategi khusus.
“Untuk anak gizi buruk komplikasi mengajarkan makanan yang diresepkan untuk perbaikan gizi betul-betul masuk. Sekaligus pemantauan kepada para perawatnya agar mencatat ragam asupan makanan,” jelas Lily.
Dokter yang berpraktik di RSCM Jakarta ini mengevaluasi pola pemantauan makanan penting karena rentan menimbulkan kematian. Sedangkan untuk penanganan gizi buruk berat mulai membuatkan sistem pelayanan gizi terpadu, termasuk mengadakan poli gizi di RS dan Puskesmas.
Saat ini yang tersedia di RSUD Agats adalah dapur gizi. Sementara, untuk upaya memberi penyuluhan kepada tenaga kesehatan khusus penanganan gizi buruk perlu monitoring tata laksana gizi buruk. Sekaligus pencatatan akurat tentang umur anak yang menjadi poin inti pencatatan gizi.
“Faskes dan lingkungan kesehatan ibu dan anak harus dibenahi karena itu pondasinya. Kemudian penguatan Antenatal Care (ANC), metabolisme, dan maternalnya,” ujar Lily menyarankan.
Tim FHC Kemenkes lainnya, dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A. memaparkan hasil pantauannya dari RSUD Agats dan beberapa kampung di Agats. Masalah terbesar, diakuinya, jumlah anak stunting berperawakan pendek akibat kurang gizi.
“Perlu pendekatan berbagai pihak untuk Kabupaten Asmat dalam jangka panjang. Orang tua disini perlu edukasi jangka panjang,” jelas Cut.