TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Seorang bandar obat keras terlarang, Bambang mengatakan, penjualan obat keras paling besar di Jateng berada di wilayah Semarang dan Solo.
Bahkan, menurut dia, saat ini mulai menjamur obat keras palsu atau diproduksi rumahan, seperti jenis trihex, hexysimer, zolam, hingga rexlona.
"Bagi orang awam susah membedakan. Hanya bisa dirasakan kalau sudah dikonsumsi. Jika biasanya minum satu butir sudah terasa efeknya, dengan obat keras KW itu harus minum dua sampai tiga kali atau lebih, atau bahkan harus minum empat butir sekaligus baru terasa," katanya, kepada Tribun Jateng, baru-baru ini.
Meski sabu kini lebih banyak diminati, Bambang berujar, kondisi saat ini peredaran obat keras mulai naik lagi setelah sempat surut tiga tahun terakhir.
Peningkatan itu antara lain karena barangnya yang mudah didapat, dan harganya yang relatif stabil.
Untuk kategori obat kasaran, harga paling murah per 10 butir dibanderol Rp 20 ribu untuk harga pengecer.
Sedangkan ketogori alusan, harga Rp 20 ribu-Rp 25 ribu per butir. Namun khusus rexlona camplet serta dumolid harga Rp 40 ribu-Rp 50 ribu per butir.
"Paling banyak peminatnya masih kategori alusan. Sebab efek negatif seperti merasa haus, badan sakit semua, dan lemas tidak terasa. Yang dirasakan hanya halusinasi. Banyak begal pakai ini (obat alusan-Red) karena hilang akal sehat, jadi berani tarung," jelasnya.
Jika dulu Bambang tidak melayani penjualan eceran, kini ia juga melayani hal itu, tetapi hanya khusus kepada orang-orang yang telah dikenal.
Dalam pendistribusian barang, Bambang tidak hanya mengambil barang langsung ke Jakarta. Kadang ia juga memanfaatkan jasa pengiriman logistik.
"Tapi sekarang tidak seperti dulu. Kalau dulu barang saya tujukan langsung ke rumah. Sekarang pakai atas nama pengguna lain yang ditujukan ke daerah Kaliwungu (Kendal-Red). Sebab saya sudah dititeni (diawasi-Red) sama jasa pengiriman barang. Pernah dapat info dari kenalan yang tugas di jasa logistik kalau barang saya dibongkar hingga tidak berani saya ambil," paparnya.
Makin sulit
Terkait dengan pemberian suap, atau biasa disebut Bambang dengan atensi kepada oknum polisi, juga diakuinya semakin sulit. Petugas lebih nyaman melindungi bandar sabu dibandingkan dengan bandar obat, karena uangnya lebih banyak.
"Bandar obat sekarang model atensinya kalau sudah tertangkap. Diperas oleh oknum polisi sampai puluhan juta rupiah, tergantung kemampuan kalau mau bebas," imbuhnya.
Meski demikian, sejak menggeluti bisnis itu Bambang belum pernah sekalipun 'berurusan' dengan polisi.
Bambang mengakui, dampak negatif dari bisnis menjual obat keras yang digelutinya membuat hidupnya tidak tenang.
Selain saingan dengan sesama bandar, ia juga harus berhadapan dengan petugas. Selain itu, sanksi moral berupa cibiran warga kampung juga ia rasakan.
"Tapi kalau enaknya gampang cari uang. Bahkan, teman saya sesama bandar ada yang sampai beli rumah. Tapi kalau saya uangnya habis buat hura-hura, namanya uang kayak gitu, dapatnya gampang habisnya juga gampang," ucapnya, seraya tertawa.
Bambang berujar, kunci sukses menjadi bandar obat keras adalah harus pintar merawat jaringan, baik kepada pembeli maupun lingkaran yang ada di dalamnya, termasuk petugas. Selain itu, bandar harus pintar membaca situasi.
"Di bisnis kayak gini (ilegal-red), konsumen itu berharga. Kalau jualan baju konsumen telat bayar pasti kita nggak mau nawari baju lagi kan? Tapi kalau konsumen obat, dia telat bayar tapi kok minta barang lagi, ya harus dikasih, kalau tidak dia bisa diambil bandar lain, dan akhirnya jaringan terputus," terangnya. (Tim Tribun Jateng)