TRIBUNNEWS.COM, GROBOGAN - Mbah Satiyah warga asli Desa Menduran, Brati, Kabupaten Grobogan diyakini keluarganya kini sudah berusia 120 tahun.
Meski tak ada bukti otentik bahwa Mbah Satiyah yang telah punya 40 cicit itu sudah berusia ratusan tahun. Namun ia ingat betul bagaimana sulitnya kehidupan zaman penjajahan Belanda.
Mbah Satiyah yang kini tinggal di rumah anak kelimanya, Sukayah (53), di Dusun Nganggil, Desa Karanganyar, Purwodadi, Grobogan masih tampak sehat.
Baca: Depresi Berat, TKI Ini Gigit Lidah Sendiri, Sudah 3 Pekan Dirawat di Rumah Sakit di Taiwan
Kata anak-anak dan keluarganya, Mbah Satiyah hobi makan ketela rebus dan minum kopi hitam. Itu menu harian yang tak bisa ditinggalkan.
Dan hebatnya lagi, Mbah Satiyah rajin salat serta bangun malam untuk menunaikan salat sunat tahajud. Itu ibadah yang sudah dia kerjakan sejak lama dan menjaga atau istiqomah dengan baik.
"Aku iki orak sekti, cuma tani, nanging ibadahku tekun, orak tau telat opo meneh salat tahajud. (Saya ini bukan orang sakti, hanya petani, tapi ibadah saya rajin, tidak pernah terlambat, apalagi untuk salat tahajud-Red)," kata Mbah Satiyah, saat ditemui kompas.com, Minggu (11/3/2018).
Hari-hari dia makan dan minum ala kadarnya tanpa adanya pembatas. Berjalan kaki pun tidak harus merepotkan keluarganya, walau acap kali memakai alat bantu tongkat.
Keperluan lain seperti mandi dan buang air di kamar mandi juga ia lakoni sendiri. Bahkan, nenek renta itu kadang mencuci pakaiannya sendiri.
Wajar jika di usianya yang sepuh ingatan Mbah Satiyah tak setajam dulu. Tetapi, saat diajak mengobrol, ia masih fasih berbicara. Hanya saja, instingnya saat mendengar dan melihat sudah mulai berkurang.
Semasa kecil hingga remaja, Mbah Satiyah tinggal di Desa Menduran, Brati, Grobogan Jawa Tengah.
Konon, cikal bakal desa itu erat hubungannya dengan sepak terjang ulama kesohor Kiai Kafiluddin.
Beliau adalah tokoh yang berjuang menyebarkan agama Islam di wilayah Pantura. Kiai Kafiluddin kemudian membangun masjid di wilayah Desa Menduran pada tahun 1700-an.
Masjid kuno yang sempat direnovasi itu kini masih berdiri kokoh. Hingga kini, banyak masyarakat dari berbagai penjuru berziarah ke makam tokoh pejuang agama Islam itu di Desa Menduran.
"Mbiyen pas cilik, yen lali salat opo ngaji, mesti diciweli wong tuwoku. (Saat kecil, ketika lupa salat dan mengaji, pasti dicubiti orangtua saya-Red)," tutur Mbah Satiyah.