Tetapi pengalaman puluhan tahun menekuni profesi itu membuat mereka kebal dengan tantangan tersebut.
Sutikno mengaku telah menjalani pekerjaan itu sejak puluhan tahun lalu. Ia membeli kolang-kaling ke petani dengan sistem tebas.
Ia kemudian berbagi tugas dengan temannya untuk memetik buah itu lalu mengangkutnya ke pinggir jalan raya.
Dalam lima hari, mereka bisa mengunduh lima rit buah kolang kaling yang dipetik dari beberapa pohon di lokasi berbeda.
Mereka cukup menumpuk buah mentah itu di tepi jalan sembari menunggu truk pengangkut datang.
Sutikno menjual kolang-kaling mentah itu ke pemilik industri makanan dari Kota Semarang.
"Langsung diambil dengan truk dari Semarang, di sana nanti diproses lagi,"katanya
Usaha kolang-kaling tidak pernah ada matinya seiring dengan tingginya permintaan pasar. Tetapi sumber bahan baku bisa terancam habis atau mati.
Saat permintaan tak terbendung, populasi tanaman Aren justru semakin berkurang. Sutikno kini merasakan sulitnya menemukan petani yang mau menjual buah kolang kalingnya.
Banyak pohon Aren di kebun-kebun warga yang ditebang hingga populasinya terus menyusut. Petani lebih memilih mengalihkan lahannya untuk ditanami tanaman lain yang lebih menguntungkan.
Kebun-kebun warga yang mulanya dipenuhi pohon Aren disulap jadi penuh tanaman musiman atau tahunan, semisal sayuran atau salak.
Kondisi ini tentu ikut menggusur mata pencaharian orang seperti Sutikno sebagai tengkulak kolang kaling, termasuk buruh angkut atau pemetik kolang kaling.
Kini, dalam setahun, ia dan teman-temannya hanya bisa memetik dan menjual buah kolang kaling empat kali dalam setahun.
Padahal, dahulu ia hampir setiap bulan bisa memetik dan menikmati keuntungan dari bisnis tersebut.