TRIBUNNEWS.COM, LAHAT - Pengadilan Negeri Lahat menjatuhkan vonis 36 bulan dan penjara dan denda Rp200 juta subsider 1 bulan penjara kepada Syahril Effendi, terdakwa kasus praktik politik uang (money politics) di Pilkada Lahat.
Dalam putusannya Majelis Hakim PN Lahat, Shelly Noveriyati. SH menyebutkan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena dengan sengaja membagi-bagikan uang untuk memenangkan pasangan calon nomor 3 Cik Ujang-Haryanto dalam Pilkada Kabupaten Lahat.
Atas putusan tersebut, pelaku money politik, Syahril diberi waktu oleh majelis hakim selama tiga hari untuk pikir pikir menerima atau akan mengajukan banding atas keputusan hakim tersebut, Senin (23/7/18).
Atas vonis tersebut, Syahril menyatakan pikir pikir.
“Aku pikir pikir” kata Syahril.
Syahril didakwa sebagai pelaku Money Politics Jual beli suara untuk pasangan CIK Ujang dan Haryanto pada Pilkada Lahat 27 Juni 2018 lalu.
Ditemui usai sidang Syahril, tetap berharap pelaku lainnya untuk ditangkap juga, Syahril mengatakan “jangan aku saje, ye lainne Mane, tangkapila pule” katanya.
Kuasa Hukum Protes
Kuasa hukum Syahril, Djoko Edhi Abdurrahman, melakukan protes kepada majelis hakim karena marasa ada yang tidak benar dalam proses peradilan tersebut. Dia menanyakan kepada majelis hakim kenapa hanya ada Pelaku Tunggal (dader) dalam kasus politik uang ini, padahal mestinya ada pihak yang menerima dan pula pihak yang memberi.
Selain itu, Djoko Edhi juga mempersoalkan mengapa kliennya tidak diberikan surat dakwaan dan surat tuntutan, juga tidak ditawari pengacara pada awal sidang. Karena tidak puas dengan jalannya pesidangan Djoko Edhi kemudian memilih walk out (WO).
Dalam keterangannya kepada wartawan usai persidangan, Djoko Edhi menjelaskan alasan melakukan protes terhadap majelis hakim.
“Ketika saya mulai meneliti Syahril Effendi, ia dibodoh-bodohi oleh Pengadilan Lahat. Maklum Syahril Effendi walaupun dia pernah bersekolah di Sekolah Rakyat kemudian DO ia setara dengan Buta Huruf. Jadilah ia bancaan dari Gakumdu, Polisi, Kejaksaan hingga Pengadilan Kabupaten Lahat, jadilah peradilan itu peradilan tipu–tipu, sesat dan saya Walk Out ditambah lagi dengan Ketua Majelis yang otoriter, kata Djoko Edhi di Lahat, Senin (23/72017).
“Saya bertanya kepada Ketua Majelis, kenapa ini hanya ada Pelaku Tunggal (dader)? Mana ada kasus suap pelaku tunggal, sebab minimal dia ada yang menyuap dan ada yang disuap. Pasal 187 A di UU nomor 10/2016 tentang pilkada. Dalam ilmu hukum ini disebut kejahatan deelneming (Penyertaan) Pasal 51 UU KUHP.
Inilah yang kita sebut namanya Majelis bego artinya ilmunya pada saat kuliah dia tidur dan tidak tamat. Si Jukri akhirnya tidak ditangkap, padahal dia yang kasih uang ke Syahril Effendi. Menurut informasi yang saya dapatkan Si Jukri mendapatkan uangnya dari Cik Ujang – Haryanto, jadi disini medeplengen nya adalah Cik Ujang – Haryanto. Masalahnya Ketua Panwaslu nya ini adalah timsesnya Cik Ujang – Haryanto yaitu Sepsata Andrian,SE,” kata Djoko Edhi.
Djoko Edhi juga menyayangkan jawaban majelis hakim Saiful Brow, SH ketika dia mempersoalkan kenapa kliennya tidak ditanya apakah memiliki pengacara dan apabila tidak ada pengacara maka negara akan menyediakan pengacara secara gratis.
“Dijawab oleh Ketua Majelis Saiful Brow, SH itu semua sudah masa lalu, maksudnya sudah dalam tahapan–tahapan selanjutnya. Jadi jelas Majelis itu telah menabrak UU Kekuasaan Kehakiman. Majelis ini harus dibuang ke Aceh. Soalnya, sidang ini adalah sidang pidana bukan sidang perdata/sidang administrasi. Ini adalah sidang pidana yang karenanya menyangkut hak azazi manusia dimana majelis mau menjatuhkan hukuman penjara kepada klien saya, ga bener tuh hakim,” kata Djoko Edhi.
Menurut Djoko Edhi, penanganan kasus money politic Pilkada Lahat sudah salah sejak di Kepolisian karena tidak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang memberi uang kepada Syahril dan seharusnya diurut hingga ke Cik Ujang sampai penyuplai dananya.
“Mestinya ditangkap semua yang memberi uang ke Syahril dan penyuplai dananya, jangan disuruh pergi ngilang. Apalagi disitu ada nama-nama anggota DPRD. Jangan ada alasan keterbatasan waktu karena ini kasus pidana. Jadi ini udah persekongkolan polisi-jaksa-hakim untuk melakukan peradilan sesat. Saya akan lanjutkan kasus ini ke Tuadawas Mahkamah Agung, ke Paminal Mabes Polri dan Ke Jamwas Kejagung RI,” kata Djoko Edhi.