Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Otoritas keamanan di China sudah memeriksa delapan dari 11 korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau trafficking warga Jabar yang kini tinggal dan menikah resmi dengan warga China.
Hanya saja, pemeriksaan itu tidak didampingi perwakilan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di China.
"Hasil pemeriksaannya memang diserahkan ke KBRI dan Konjen kita di China. Tapi, isi hasil pemeriksaan pada korban ini cenderung membela warga China yang sudah menikah dengan korban secara resmi," kata Direkur Ditreskrimum Polda Jabar, Kombes Umar Surya Fana di Jalan Dipenogoro Bandung, Jumat (3/8/2018).
Baca: Anak Penjahit Ini Berprestasi dan Diterima di Akpol, Sang Ayah Harus Menabung Dulu Untuk Ke Semarang
Seperti diketahui, kasus ini diungkap Polda Jabar bulan lalu. Tiga tersangka, satu orang diantaranya warga China. Namun, saat hendak pemulangan, polisi mendapat kendala.
Salah satunya, mayoritas korban statusnya saat ini sudah resmi menikah dengan pria Tiongkok.
Namun, setelah pemeriksaan penyidikan, diketahui bahwa pernikahan beda negara itu tidak memenuhi syarat formil.
"KBRI dan Konjen kita di China keberatan dengan laporan tersebut karena sudah menerima laporan hasil penyidikan kami bahwa mereka disana sebagai korban TPPO. Tapi saya kira otoritas keamanan disana yang justru membela warganya wajar," ujar Umar.
Deportasi jadi salah satu pilihan dalam memulangkan 11 perempuan warga Indonesia yang jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan saat ini berada di China yang kini berubah nama jadi Tiongkok.
Sementara itu, opsi deportasi dalam memulangkan mereka karena itu cara paling mudah dan cepat.
"Mungkin deportasi jadi cara paling naif, rendah lah (deportasi kerap dilakukan pada orang-orang bermasalah di luar negeri) tapi kita enggak masalah, yang penting targetnya tercapai, korban pulang dan selamat," ujar Umar.
Salah satu syarat untuk mendeportasi mereka, kata Umar, pemerintah akan mencabut paspor dan visa mereka karena sejumlah permasalahan.
Yakni, pemalsuan usia. Korban kata Umar, mayoritas berusia di bawah umur. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak, batasan usia anak-anak di bawah 18 tahun.
Masalah kedua, korban saat ini posisinya berstatus istri resmi warga Tiongkok sehingga dianggap tidak ada permasalahan.
Ketiga, dalam pernikahan beda negara, salah satu syarat adalah rekomendasi dari kedutaan besar namun tidak ada pada korban.
Ke empat, korban menggunakan visa dan paspor kunjungan wisata dan bekerja. Semua pemalsuan dokumen dilakukan ketiga tersangka yang sudah ditangkap Ditreskrimum Polda Jabar belum lama ini.
"Dengan dicabut paspor dan visa karena bermasalah, para korban akan stateless (tanpa kewarganegaraan). Dengan begitu, Pemerintah Tiongkok harus memulangkan mereka lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok," ujar Umar.